WELCOME TO MY MIKRO BLOGGING (ERI NURYAMAN), I HOPE WE CAN FIND NEW AND MORE KNOWLEDGE

Rabu, 27 Juli 2011

MARHABAN YAA ROMADHAN (SYAHRO AS-SHIYAM)

Bulan Ramadhan telah datang.

MARHABAN YAA RAMADHAN
MARHABAN YAA RAMADHAN
MARHABAN YAA RAMADHAN




RAMDHAN Bulan yang oleh Allah subhanahu wata'ala dihimpun di dalamnya rahmah (kasih sayang), maghfirah (ampunan), dan itqun minan naar (terselamatkan dari api neraka). Bulan Ramadhan juga disebut dengan "shahrul Qur'an", bulan diturunkannya al-Qur'an yang merupakan lentera hidayah ketuhanan yang sangat dibutuhkan umat manusia dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mana jalan yang benar dan mana jalan yang sesat.
Melalui puasa Ramadhan, Allah SWT menguji hamba-Nya untuk mengendalikan nafsu dan perutnya, serta memberikan kesempatan kepada kalbu untuk menembus wahana kesucian dan dan kejernihan rabbani. Puasa Ramadhan merupakan pokok pembinaan iman Islami, untuk menyempurnakan amal ibadah, untuk mendapatkan maghfirah (ampunan) dan ridlwan (keridlaaan) dari Allah Yang Maha Agung.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Allah SWT mengistemewakan bulan Ramadhan di atas bulan-bulan lainnya dengan menurunkan Al-Qur'an di dalamnya. Bahkan dalam riwayat-riwayat mashur juga dikatakan bahwa kitab-kitab suci yang diturunkan kepada nabi-nabi terdahulu juga diturunkan pada bulan Ramadhan. Kitab nabi Ibrahim (suhuf) diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, kitab Zabur diturunkan kepada nabi Dawud pada malam kedua belas bulan Ramadhan, kitab Taurat diturunkan kepada nabi Musa pada malam keenam bulan Ramadhan dan kitab Injil kepada nabi Isa diturunkan pada malam ketiga belas bulan Ramadhan. Kitab-kitab tersebut merupakan petunjuk bagi umat manusia ke jalan yang benar dan penyelamat dari jalan yang sesat. Maka bulan Ramadhan dalam sejarahnya merupakan bulan dimulainya gerakan membasmi kemusyrikan di muka bumi, menghancurkan kekufuran, menepis kedengkian,  melawan kebatilan dan kemungkaran, hawa nafsu serta kesombongan.
Ramadhan pada masa ini merupakan media utama pembinaan iman seorang mukmin, melalui ibadah puasa yang mempunyai dimensi pelatihan fisik (jasadiyah) dan metafisik (ruhiyah) yang diharapkan akan mengantarkannya menjadi seorang muslim yang sempurna. Firman Allah SWT dalam QS Al Baqarah: 183-185, kutiba alaikumush shiyam (telah difardhukan puasa atasmu), dan faman syahida min kumusy syahra fal yashum (maka barangsiapa di antara kamu menyaksikan hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah), merupakan dalil pokok bagi kewajiban berpuasa.
Puasa Ramadhan juga merupakan pengendalian diri dari hegemoni nafsu syahwat dan pemisahan diri dari kebiasaan buruk dan maksiat, sehingga memudahkan bagi seorang hamba untuk menerima pancaran cahaya ilahiyah. Fakhruddin al-Razi menjelaskan dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib, bahwa cahaya ketuhanan tak pernah redup dan sirna, namun nafsu syahwat kemanusiaan sering menghalanginya untuk tetap menyinari sanubari manusia, puasa merupakan satu-satunya cara untuk menghilangkan penghalang tersebut. Oleh karena itu pintu-pintu mukashafah (keterbukaan) ruhani tidak ada yang mampu membukanya kecuali dengan puasa.
Imam Al-Ghazali menerangkan bahwa puasa adalah seperempat iman, berdasar hadis Nabi: Ash shaumu nisfush shabri, dan hadis Nabi saw: Ash Shabru Nisful Iman. Puasa itu seperdua sabar, dan sabar itu seperdua iman. Dan puasa itu juga ibadah yang mempuyai posisi istimewa di mata Allah. Allah berfirman dalam hadis Qudsi: "Tiap-tiap kebajikan dibalas dengan sepuluh kalilipat, hingga 700 kali lipat, kecuali puasa, ia untuk-Ku, Aku sendiri yang akan membalasnya".
Imam Ghozali juga menjelaskan bahwa puasa mempunyai tiga tingkatan. Pertama puasa kalangan umum, yaitu menjaga perut dan alat kelamin dari memenuhi shawatnya sesuai aturan yang ditentukan. Kedua adalah puasa kalangan khusus, yaitu selain puasa umum tadi dengan disertai menjaga pendengaran, penglihatan, mulut, tangan dan kaki serta seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan maksiat. Ketiga, yang paling tinggi, adalah puasa kalangan khususnya khusus, yaitu puasa dengan menjaga hati dan pemikiran dari noda-noda hati yang hina dan dari hembusan pemikiran duniawi yang sesat serta memfokuskan keduanya hanya kepada Allah. Inilah puncak kontemplasi hamba dengan Allah SWT.
Marilah kita bersiap-siap memasuki bulan Ramadhan ini dengan kesiapan diri yang prima, dengan perasaan yang tulus ikhlas untuk menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan. Marilah kita mantapkan hati dan jiwa kita dalam memperoleh kemuliaan puasa Ramadhan, sehingga mengantarkan kita pada satu format kehidupan yang lebih baik. Bulan Ramadhan kita jadikan momentum pembersihan diri dari dosa dan angkara murka dan penyadaran hati nurani kemanusiaan kita. Puasa jangan hanya kita laksanakan dengan menahan diri untuk tidak makan dan minum, namun yang paling substansial adalah menjadikannya upaya pengekangan diri dari segala bentuk hawa nafsu yang merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Puasa Ramadhan merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas dimensi keagamaannya. Pertama, dimensi teologis dan spiritualitas yang tercermin dalam komunikasi antara manusia dan Tuhannya, sehingga memungkinkan dalam diri semakin berkembang sifat-sifat ketuhanan yang sebenarnya sudah kita miliki, yakni sifat-sifat positif untuk berbuat kebajikan dan tertanam kepekaan hati nurani dlam bertingkah laku.
Kedua, dimensi sosial. Yaitu tumbuhnya kesadaran sosial dalam batin kita untuk peduli bukan saja pada hal yang hanya berkaitan dengan aspek transendental dan ritual keagamaan, tetapi juga peduli dengan aspek-aspek sosial kemanusiaan. Kepedulian sosial bisa direfleksikan dengan keprihatinan terhadap kondisi sosial yang terdapat dalam realitas empiris. Kualitas kesadaran batin dapat diukur dengan tingkat kepedulian terhadap realitas sosial tersebut, seperti ketaatan kepada pemimpin, hormat dan berbakti kepada orang tua, menyantuni anak yatim dan orang-orang miskin, membela orang yang tertindas hak dan martabatnya, keberanian melakukan kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Ketiga, dimenisi mental. Dengan berpuasa akan terwujud dalam diri kita mental tegar dan tahan banting, sehingga mampu untuk mengahadapi berbagai tantangan, cobaan, godaan, dan ujian dalam kehidupan ini. Kita senantiasa mampun untuk optimistis dalam berikhtiar dan berusaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik dengan tetap mengacu pada nilai-nilai etika dan moral agama. Puasa juga akan melatih mentalitas kita untuk sportif dan jujur dalam menerima amanat dan mengemban tugas, menjauhi sikap pengecut dan khianat dan tidak mudah mengumbar emosi amarah dan permusuhan.
Keempat, dimensi etika. Dengan menjalankan ibadah puasa Ramadhan dengan benar dan berkualitas, maka akan tercermin dalam diri kita nilai-nilai etika dan moral agama yang sangat positif untuk diaktualisasikan dalam pola kehidupan kita sehari-hari, seperti: (1) kemampuan menghadirkan alternatif-alternatif terbaik, dalam pola berpikir, bersikap, dan bertingkah laku; (2) kemampuan dalam mengendalikan diri terhadap keinginan-keinginan negatif, subjektivitas, maupun emosional destruktif. Dan kemampuan mengarahkan diri sendiri kepada kebenaran, sifat obyektif dan konstruktif; (3) kemampuan untuk menahan diri dari jebakan materialistik dan hedonistik; (4) kemampuan moralitas dalam melakukan tugas dan kewajiban melalui pertimbangan rasionalitas dan hati nurani.
Puasa Ramadhan dan serangkaian ibadah lain yang menyertainya selama sebulan penuh, merupakan "kawah condrodimuko" bagi seorang Muslim. Bulan Ramadhan adalah bulan untuk mendidik, melatih, menggembleng kepribadian seorang muslim untuk menjadi lebih baik dan pada gilirannya untuk menjadi seorang muslim yang sejati. Rasulullah bersabda: 'Rugilah seorang hamba yang menemukan bulan Ramadhan dan ia tidak mendapatkan ampunan-Nya".
Dalam Kitab Minhaj Al-Balaghah diriwayatkan, menjelang Ramadhan Rasulullah saww menyampaikan sebuah khutbah,  “Wahai manusia, sudah datang kepada kalian bulan Tuhan yang membawa berkat, rahmat, dan ampunan; bulan yang paling utama di sisi Tuhan dari bulan mana pun. Paling utama hari-harinya, malam-malamnya, bahkan jam demi jamnya. Inilah bulan ketika kalian diundang untuk menjadi tamu-tamu Tuhan. Di bulan ini, kalian dijadikan orang-orang yang berhak memperoleh jamuan Tuhan. Di bulan ini, nafas kalian menjadi tasbih, tidur kalian ibadah, amal kalian diterima, dan doa kalian diijabah. Mohonlah kepada Allah dengan niat yang tulus dan hati yang bersih, supaya Dia membimbing kamu untuk menjalankan puasanya dan membaca Kitab-Nya. Malanglah orang yang tidak mendapat ampunan Tuhan di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan lapar dan dahaga kamu di bulan ini lapar dan dahaga pada hari kiamat. Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan kasih-sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Pelihara lidah kamu. Jagalah dirimu agar kamu tidak melihat apa yang tidak boleh kamu lihat dan tidak mendengar apa yang tidak boleh kamu dengar. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.”
Sebagaimana biasa, khutbah Rasulullah singkat namun menyentuh hati dan menggelorakan perasaan. Kata-kata yang dipilih sederhana, mudah dipahami namun bermuatan filosofis yang begitu mendalam. Insya Allah, izinkan saya menguraikan beberapa catatan apresiasi dalam penggalan khutbah Rasulullah saww tersebut yang sayangnya sering terabaikan oleh kebanyakan kita.
Ramadhan, Bulan Tuhan
Pada penggalan awal khutbah di atas, Rasulullah saww menyebut Ramadhan sebagai bulan Tuhan, sebagai bulan yang paling mulia di sisi Allah. Dalam terminologi Al-Qur’an, Tuhan ataupun Allah bukan sekedar wujud yang kepadanya kita sematkan asma-asma kemuliaan dan keagungan, bukan sekedar sesuatu yang kita tempatkan di altar persembahan, tempat segala ampunan dan pengharapan kita muarakan. Namun Allah juga adalah ‘kampung halaman’ kita. Tempat kita berasal dan akan kembali, “Hanya kepada Allah kamu semua kembali.” (QS. Al-Maidah: 48). Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, penyair sufi asal Persia, Tuhan adalah “rumpun bambu” kita, sedangkan kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Suara yang keluar dari sebuah seruling sesungguhnya adalah jeritan kerinduan untuk bisa kembali kepada rumpun bambu, tempatnya berasal. Dengan beberapa ketentuan seorang Muslim ketika bepergian atau melakukan perjalanan jauh dari rumahnya boleh menyingkat shalat-shalatnya atau menggabungkannya. Tetapi jika disekitaran Kakbah, darimanapun para jamaah haji datang dan betapapun jauhnya perjalanan yang di tempuh, shalat mereka harus sempurna dan tidak boleh disingkatkan. Sebab perjalanan menuju Kakbah sesungguhnya adalah perjalanan kembali ke kampung halaman. Karena itulah Kakbah disebut juga Baitullah, Rumah Tuhan. Begitu juga dengan Ramadhan, disebut Bulan Tuhan, karena pada bulan ini kita semua, orang-orang yang beriman kepada-Nya, kembali kepada Tuhan.
Meminjam bahasa Jalaluddin Rakhmat, manusia adalah “anak-anak Tuhan” yang dikeluarkan dari rumah-Nya untuk bermain-main di halaman dunia ini -Sesungguhnya, kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan hiburan- (QS. Al-An’am: 32). Pada bulan Ramadhan inilah, anak-anak Tuhan diminta kembali dan meninggalkan halaman permainan. Selama kita asyik bermain, kita sibuk membeli “jajanan” yang bermacam-macam: Kekayaan, kekuasaan dan kemasyhuran. Kita diingatkan bahwa ada makanan lain yang jauh lebih sehat dan lebih lezat. Pada bulan Ramadhan Tuhan mempersiapkan jamuan-Nya dan kita diundang untuk menjadi tamu-Nya. Rasulullah saww berkata,” Inilah bulan ketika kalian diundang untuk menjadi tamu-tamu Tuhan. Di bulan ini, kalian dijadikan orang-orang yang berhak memperoleh jamuan Tuhan. Di bulan ini, nafas kalian menjadi tasbih, tidur kalian ibadah, amal kalian diterima, dan doa kalian diijabah.
Bulan Solidaritas
Ramadhan sering disebut juga bulan rahmat (kasih sayang), karena pada bulan ini kepekaan dan rasa kasih sayang kita digugah. Rasulullah saww menganjurkan kita meyayangi dan menyantuni anak-anak yatim, bersedekah kepada fakir miskin, memuliakan pemimpin dan mengasihi orang-orang kecil dan para pekerja yang berada di bawah tanggungan kita. Kita dihimbau untuk menjalin akrab relasi kemanusiaan. Pada bulan ini, anak-anak kembali kerumah orang-orang tua mereka menjalin kembali kasih sayang dan persaudaraan, anak-anak yatim disantuni dan mendapat perhatian berlebih, para atasan mempererat hubungan dengan para karyawannya, para pemimpin semakin mencintai rakyatnya dan orang-orang kaya memadu kasih dengan orang-orang miskin. Ditengah kegersangan relasi kemanusiaan dan solidaritas sosial, Tuhan mempersembahkan Ramadhan yang membawa rahmat bagi sebanyak-banyaknya orang.
Ramadhan datang untuk memperpeka kembali kemanusiaan kita yang selama ini terkotori oleh kesadaran hidup yang bersifat ordiner, konsumtif dan profan semata. Dengan berpuasa, kita mampu memenangkan insan malakuti diatas sifat kebinatangan yang bersemayam dimasing-masing jiwa kita. Rasulullah saww menganjurkan agar di bulan ini kita melatih diri untuk mengubah pola relasi kebinatangan yang berdasarkan kebencian dan permusuhan dengan pola relasi yang lebih manusiawi, kontak sosial yang berdasarkan cinta, kasih sayang dan silaturahmi.
Baik kepada rakyat kecil maupun para pembesar, Nabi berkata, “Bersedekahlah kepada fakir miskin. Muliakan para pemimpin kamu dan sayangi orang-orang kecil di antara kamu. Sambungkan persaudaraan kamu. Sayangilah anak-anak yatim orang lain supaya Tuhan menyayangi anak-anak yatim kamu.” Ketika Nabi Yusuf as menjadi menteri logistik, ia membiasakan puasa setiap hari. Orang bertanya kepadanya: Mengapa Anda membiasakan lapar sementara perbendaharaan bumi di tangan Anda? Yusuf menjawab: Aku takut kenyang dan mengabaikan mereka yang lapar.” 

Jumat, 08 Juli 2011

SYA'BAN dan NISFU SYA'BAN

SYA'BAN adalah nama bulan. Dinamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air. Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub (berpisah-pisah/terpencar) di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban juga karena bulan tersebut sya’aba (muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Jamaknya adalah Sya’abanaat dan Sya’aabiin.Cara membaca doa nisfu sya'ban pertama hendaklah melakukan sholat sunat nifsu sya'ban dua rakaat, sesudah melakukan sholat Maghrib.

Seputar Shalat Sunat Sya'ban:
Niat Shalat Nisfu Sya'ban:

USHALLI SUNATAN LAILATAN NISFI SYA'BAANA RAK'ATAINI LILLAAHI TA'ALA ALLAHU AKBAR.
Sesudah melakukan sholat sunat nisfu sya'ban membaca Yaa siin tiga kali. Pembacaan pertama niat memohon panjang umur untuk melakukan ibadah kepada Allah Swt. Pembacaan yang kedua niat memohon rezeki yang banyak serta yang halal untuk bekal melakukan ibadah kepada Allah Swt. Pembacaan ketiga niat memohon teguhnya iman agar mendapatkan husnul khatimah. kemudian baru membaca doa Nisfu sya'ban.


Do'a Nisfu sya'ban :
BISMILLAHIR RAHMAANIR RAHIIM, 
Diawali dengan Istighfar dan Tasbih:

ALLAHUMMA YAA DZAL MANNI WA LAA YUMANNU ALAIHI YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAMI YAA DZATH THAULI WAL IN'AAMI LAA ILAAHA ILLA ANTA ZHAHRUL LAAJIINA WA JAARUL MUSTAJIIRIINA WA AMAANUL KHA IFIINA, ALLAHUUMMA IN KUNTA KATABTANII INDAKA FII UMMIL KITAABI SYAQIYYAN AW MHRUUMAN AW MTHRUUDAN AW MUQTARAAN ALAYYA FIR RIZQI FAMHU, ALLAHUMMA BIFADHLIKA SYAQAWATI WA HIRMAANII WATHARDII WAQ TAARA RIZQII WA ATSBITNII 'INDAKA FII UMMIL KITAA BI SA'IIDAN MARZUUQAN MUWAFFAQAN LILKHAIRAATI FAINNAKA QULTA WA QAULUKAL HAQQU FII KITAABIKAL MUNZAL ALALISAANI NABIYYIKAL MURSAL YAMHU ALLAHU MAA YASYAA'U WA YUTSBITU WA 'INDAHU UMMUL KITAABI, ILLAHII BITTAJALLIIL A'ZHAM FII LAILATIN NISFI MIN SYA'BAANAL MUKARRAM ALLATII YUFRAQU FIIHAA KULLU AMRIN HAKIIM, WA YUBRAMU AN YAKSYIFA 'ANNAA MINAL BALAA'I MAA NA'LAMU WAMAA LAA NA'LAMU WA MAA ANTA BIHII A'LAMU INNAKA ANTAL 'A'AZZUL AKRAMU, WA SHALLA ALLAHU ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA AALIHII WA SHAHBIHII WA SALLAMA.


Shaum di bulan Sya’ban

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Dan beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Dan saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari No. 1833, Muslim No. 1956). Dan dalam riwayat Muslim No.1957 : ”Adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya. Dan sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban.”


Sebagian ulama di antaranya Ibnul Mubarak dan selainnya telah merajihkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak pernah penyempurnakan puasa bulan Sya’ban akan tetapi beliau banyak berpuasa di dalamnya. Pendapat ini didukung dengan riwayat pada Shahih Muslim No. 1954 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata: “Saya tidak mengetahui beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.” Dan dalam riwayat Muslim juga No. 1955 dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “ Saya tidak pernah melihatnya puasa satu bulan penuh semenjak beliau menetap di Madinah kecuali bulan Ramadhan.” Dan dalam Shahihain dari Ibnu ‘Abbas, dia berkata: “Tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa asatu bulan penuh selain Ramadhan.” (HR. Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157). Dan Ibnu Abbas membenci untuk berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan. Berkata Ibnu Hajar: Shaum beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pada bulan Sya’ban sebagai puasa sunnah lebih banyak dari pada puasanya di selain bulan Sya’ban. Dan beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.


Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: “Saya berkata: “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasanmu di bulan Sya’ban.” Maka beliau bersabda: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Dan merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Dan saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa.” (HR. Nasa’i, lihat Shahih Targhib wat Tarhib hlm. 425). Dan dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud No. 2076, dia berkata: “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa padanya adalah Sya’ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” Dishahihkan oleh Al-Albani, lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/461.


Berkata Ibnu Rajab: Puasa bulan Sya’ban lebih utama dari puasa pada bulan haram. Dan amalan sunah yang paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan sebelum dan sesudahnya. Kedudukan puasa Sya’ban diantara puasa yang lain sama dengan kedudukan shalat sunah rawatib terhadap shalat fardhu sebelum dan sesudahnya, yakni sebagai penyempurna kekurangan pada yang wajib. Demikian pula puasa sebelum dan sesudah Ramadhan. Maka oleh karena sunah-sunah rawatib lebih utama dari sunah muthlaq dalam shalat maka demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama dari puasa yang jauh darinya.


Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam: “Sya’ban bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan”, menunjukkan bahwa ketika bulan ini diapit oleh dua bulan yang agung –bulan haram dan bulan puasa- manusia sibuk dengan kedua bulan tersebut sehingga lalai dari bulan Sya’ban. Dan banyak di antara manusia mengganggap bahwa puasa Rajab lebih utama dari puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram, padahal tidak demikian. Dalam hadits tadi terdapat isyarat pula bahwa sebagian yang telah masyhur keutamaannya baik itu waktu, tempat ataupun orang bisa jadi yang selainnya lebih utama darinya.


Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunahkannya menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan. Sebagaimana sebagian salaf, mereka menyukai menghidupkan antara Maghrib dan ‘Isya dengan shalat dan mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Dan yang seperti ini di antaranya disukainya dzikir kepada Allah ta’ala di pasar karena itu merupakan dzikir di tempat kelalaian di antara orang-orang yang lalai. Dan menghidupkan waktu-waktu yang manusia lalai darinya dengan ketaatan punya beberapa faedah, di antaranya:
Menjadikan amalan yang dilakukan tersembunyi. Dan menyembunyikan serta merahasiakan amalan sunah adalah lebih utama, terlebih-lebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan rabbnya. Oleh karena itu maka dikatakan bahwa padanya tidak ada riya’. Sebagian salaf mereka berpuasa bertahun-tahun tetapi tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian keduanya disedekahkan dan dia sendiri berpuasa. Maka keluarganya mengira bahwa dia telah memakannya dan orang-orang di pasar menyangka bahwa dia telah memakannya di rumahnya. Dan salaf menyukai untuk menampakkan hal-hal yang bisa menyembunyikan puasanya.


Dari Ibnu Mas’ud dia berkata: “Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).” Berkata Qatadah: “Disunahkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang darinya kesan sedang berpuasa.”


Demikian juga bahwa amalan shalih pada waktu lalai itu lebih berat bagi jiwa. Dan di antara sebab keutamaan suatu amalan adalah kesulitannya/beratnya terhadap jiwa karena amalan apabila banyak orang yang melakukannya maka akan menjadi mudah, dan apabila banyak yang melalaikannya akan menjadi berat bagi orang yang terjaga. Dalam shahih Muslim No. 2948 dari hadits Ma’qal bin Yassar: “Ibadah ketika harj sepeti hijarah kepadaku.” Yakni ketika terjadinya fitnah, karena manusia mengikuti hawa nafsunya sehingga orang yang berpegang teguh akan melaksanakan amalan dengan sulit/berat.


Ahli ilmu telah berselisih pendapat tentang sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam banyak berpuasa di bulan Sya’ban ke dalam beberapa perkataan:


1. Beliau disibukkan dari puasa tiga hari setiap bulan karena safar atau hal lainnya. Maka beliau mengumpulkannya dan mengqadha’nya (menunaikannya) pada bulan Sya’ban. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila mengamalkan suatu amalan sunah maka beliau menetapkannya dan apabila terlewat maka beliau mengqadha’nya.


2. Dikatakan bahwa istri-istri beliau membayar hutang puasa Ramadhannya pada bulan Sya’ban sehingga beliaupun ikut berpuasa karenanya. Dan ini berkebalikan dengan apa yang datang dari ‘Aisyah bahwa dia mengakhirkan untuk membayar hutang puasanya sampai bulan Sya’ban karena sibuk (melayani) Rasulullah.

3. Dan dikatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam berpuasa karena pada bulan itu manusia lalai darinya. Dan pendapat ini yang lebih kuat karena adanya hadits Usamah yang telah disebutkan tadi yang tercantum di dalamnya: “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan.” (HR. Nasa’i. Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib hlm. 425).


Dan adalah beliau shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam apabila masuk bulan Sya’ban sementara masih tersisa puasa sunah yang belum dilakukannnya, maka beliau mengqadha’nya pada bulan tersebut sehingga sempurnalah puasa sunah beliau sebelum masuk Ramadhan –sebagaiman halnya apabila beliau terlewat sunah-sunah shalat atau shalat malam maka beliau mengqadha’nya-. Dengan demikian ‘Aisyah waktu itu mengumpulkan qadha’nya dengan puasa sunahnya beliau. Maka ‘Aisyah mengqadha’ apa yang wajib baginya dari bulan Ramadhan karena dia berbuka lantaran haid dan pada bulan-bulan lain dia sibuk (melayani) Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Maka wajib untuk diperhatikan dan sebagai peringatan bagi orang yang masih punya utang puasa Ramadhan sebelumnya untuk membayarnya sebelum masuk Ramadhan berikutnya. Dan tidak boleh mengakhirkan sampai setelah Ramadhan berikutnya kecuali karena dharurat, misalnya udzur yang terus berlanjut sampai dua Ramadhan. Maka barang siapa yang mampu untuk mengqadha’ sebelum Ramadhan tetapi tidak melakukannya maka wajib bagi dia di samping mengqadha’nya setelah bertaubat sebelumnya untuk memberi makan orang-orang miskin setiap hari, dan ini adala perkataannya Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.


Demikian juga termasuk faedah dari puasa di bulan Sya’ban adalah bahwa puasa ini merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan dan berat pada saatnya nanti. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.


Dan oleh karena Sya’ban itu merupakan pendahuluan bagi Ramadhan maka di sana ada pula amalan-amalan yang ada pada bulan Ramadhan seperti puasa, membaca Al-Qur’an, dan shadaqah. Berkata Salamah bin Suhail: “Telah dikatakan bahwa bulan Sya’ban itu merupakan bulannya para qurra’ (pembaca Al-Qur’an).” Dan adalah Habib bin Abi Tsabit apabila masuk bulan Sya’ban dia berkata: “Inilah bulannya para qurra’.” Dan ‘Amr bin Qais Al-Mula’i apabila masuk bulan Sya’ban dia menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca Al-Qur’an.

Puasa pada Akhir bulan Sya’ban


Telah tsabit dalam Shahihain dari ‘Imran bin Hushain bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda: “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia berkata: “Tidak.” Maka beliau bersabda: “Apabila engkau berbuka maka puasalah dua hari.” Dan dalam riwayat Bukhari: “Saya kira yang dimaksud adalah bulan Ramadhan.” Sementara dalam riwayat Muslim: “Apakah engkau puasa pada sarar (akhir) bulan Sya’ban?” (HR. Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).


Telah terjadi ikhtilaf dalam penafsiran kata sarar dalam hadits ini, dan yang masyhur maknanya adalah akhir bulan. Dan dikatakan sararusy syahr dengan mengkasrahkan sin atau memfathahkannya dan memfathahkannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakn sarar karena istisrarnya bulan (yakni tersembunyinya bulan).


Apabila seseorang berkata, telah tsabit dalam Shahihain dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa salla, beliau bersabda: “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah.” (HR. Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082), maka bagimana kita mengkompromikan hadits anjuran berpuasa (Hadits ‘Imran bin Hushain tadi) dengan hadits larangan ini?


Berkata kebanyakan ulama dan para pensyarah hadits: Sesungguhnya orang yang ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ini telah diketahui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bahwa dia ini terbiasa berpuasa atau karena dia punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.


Dan dikatakan bahwa dalam masalah ini ada pendapat lain, dan ringkasnya bahwa puasa di akhir bulan Sya’ban ada pada tiga keadaan:


1.Berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.


2.Berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha’ Ramadhan yang lalu atau membayar kafarah atau yang lainnya. Jumhur ulama membolehkan yang demikian.


3.Berpuasa dengan niat puasa sunah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka membenci hal yang demikian, di antaranya adalah Hasan Al-Bashri –meskipun sudah terbiasa berpuasa- akan tetapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi’i, Al-Auzai’, dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.


Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tadilah yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni dibencinya mendahului Ramadhan dengan puasa sunah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.


Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci (bagi orang-orang yang tidak punya kebiasaan berpuasa sebelumnya)? Jawabnya adalah karena dua hal:


Pertama: agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai langkah hati-hati/peringatan dari apa yang terjadi pada ahli kitab dengan puasa mereka yaitu mereka menambah-nambah puasa mereka berdasarkan pendapat dan hawa nafsu mereka. Atas dasar ini maka dilaranglah puasa pada yaumusy syak (hari yang diragukan). Berkata Umar: Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam. Dan hari syak adalah hari yang diragukan padanya apakah termasuk Ramadhan atau bukan yang disebabkan karena adanya khabar tentang telah dilihatnya hilal Ramadhan tetapi khabar ini ditolak. Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasaa padanya. Dan ini adalah perkataaan kebanyakan ulama.


Kedua: Membedakan antara puasa sunah dan wajib. Sesungguhnya membedakan antara fardlu dan sunah adalah disyariatkan. Oleh karenanya diharamkanlah puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah). Dan Rasulullah melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan shalat sunah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunah qabliyah Fajr (Shubuh) maka disyari’atkan untuk dipisahkan/dibedakan dengan shalat wajib. Karenanya disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat sesudahnya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika melihat ada yang sedang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, beliau berkata kepadanya: “Apakah shalat shubuh itu empat rakaat?” (HR. Bukhari No.663).

Barangkali sebagian orang yang jahil mengira bahwasanya berbuka (tidak berpuasa) sebelum Ramadhan dimaksudkan agar bisa memenuhi semua keinginan (memuaskan nafsu) dalam hal makanan sebelum datangnya larangan dengan puasa. Ini adalah salah/keliru dan merupakan kejahilan dari orang yang berparasangka seperti itu. Wallahu ta’ala a’lam.


Maraji’: Lathaaiful Ma’arif fi ma Limawasimil ‘Aami minal Wadhaaif, Ibnu Rajab Al-Hambali.
Al-Ilmam bi Syai’in min Ahkamish Shiyam, ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajihi.


(Diterjemahkan dari artikel berjudul Haula Syahri Sya’ban di www.islam-qa.com oleh Abu Abdurrahman Umar Munawwir)

Peristiwa dan Makna dari Isra' dan Mi'raj

ISRA’ MI’RAJ SEBAGAI CERMINAN KEMULIAAN FIGUR NABI MUHAMMAD SAW

Alhamdulillahi a’laa ni’matil islam wal iman wassholaatu wassalaamu a’laa habiibirrohman alladzi yasyfau’na fii yaumizzimam wa a’laa alihi wa ashabihi ajmai’n. amma ba’du, fa qoola Taa’la fil quranil azdhim: Subhaanaladzi asra bi a’bdihi lailaan minal masjidil harami ilal masjidil aqsa, alladzi baarakna haulahu linuriyahu min aayatina, Innahu huwassamiiu’l bashiir. fa qoola Taa’la aidlon: Wa huwa bil ufuqil a’la, Tsumma dana fa tadalla, Fa kaana qooba kausaini aw adna. Shodaqallahul a’liyyil azdhim.
Ma’asyirol muslimin wal muslimat rohimakumullah, peristiwa isra’ dan mi’raj adalah sebuah peristiwa spektakuler yang maha dahsyat yang tidak pernah didapatkan oleh satu makhluq apapun di dunia ini. Isra’ dan mi’raj juga tidak pernah diberikan kepada nabi dan rasul sebelumnya. Isra’ dan mi’raj hanya ditujukan kepada baginda nabi Muhammad SAW, sebagai mu’jizat terbesar dan tanda dari kerasulannya.

Isra’ adalah keberangkatan nabi SAW dari Masjidil Haram (Makkatul Mukarramah) menuju Masjidil Aqsa (Yerussalem) dalam malam yang penuh berkah di sekitarnya, yakni dari ujung Masjidil Haram (Makkatul Mukarramah) sampai Masjidil Aqsa di tanah yerussalem. Maksudnya adalah tempat-tempat yang dikunjungi dan dilalui nabi SAW adalah tempat-tempat yang penuh berkah, karena di situlah lahir para nabi-nabi sebelumnya yang membawa ayat-ayat Allah. Di tempat-tempat tersebut pula Allah menggambarkan kepada anak cucu adam tentang kebesarannya seperti musibah-musibah yang menimpa umat terdahulu atas ulah mereka yang ingkar kepada Allas SWT.

Dalam perjalanan isra’ tersebut, Allah juga menunjukkan kebesarannya, dengan me-rewind, memaparkan dan menunjukkan tempat-tempat nabi dan rasul sebelum nabi SAW. Allah juga menggambarkan keadaan dunia yang diibaratkan seperti nenek-nenek yang tua renta serta memperlihatkan kepada nabi SAW tentang keadaan umatnya kelak yang meremehkan syariat-syariat islam.

Kemudian yang juga tak kalah hebatnya adalah, Allah menunjukkan figur kekasihnya nabi SAW sebagai pemimpin dari para nabi dan rasul, yakni dengan mempertemukan nabi SAW kepada para nabi dan rasul terdahulu. Peristiwa ini terjadi ketika nabi SAW tiba di Masjidil Aqsa (Yerussalem) langsung disambut oleh para Rasul ulul a’zmi dan dilanjutkan dengan para nabi dan rasul lainnya. Puncaknya, Allah menyerukan agar nabi SAW memimpin/mengimami shalat jama’ah pada malam itu. Seluruh makmumnya adalah para nabi dan rasul terdahulu termasuk Rasul ulul a’zmi. Allahumma Sholli A’laa Sayyidina Muhammad..

Selesai isra’ nabi SAW melanjutkannya dengan mi’raj, yakni menaiki langit-langitnya Allah satu demi satu, seperti difirmankan dalam surat An-najm ayat 1-17, dengan sebuah penutupan ayat 17 yang sangat indah dan suci Laqod ro’aa min ayaatihilkubro. (Sesungguhnya dia (Muhammad) telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar). Di situlah nabi SAW kemudian naik dan naik hingga akhirnya sampai di sidratil muntaha. Di sinilah Jibril berkata, “Ya Rasulullah, hanya sampai di sini aku menemanimu, engkau akan naik sendiri kesana”. Hingga akhirnya Dalam surat An-najm di firmankan Wa huwa bil ufuqil a’la, Tsumma dana fa tadalla, Fa kaana qooba kausaini aw adna.
(sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)).

Maha suci Allah dan betapa mulianya nabi SAW, yang memiliki kesempatan sedemikian maha besar, hingga diibaratkan pertemuan antara sang khaliq (pencipta) dengan nabi SAW laksana dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).

Ma’asyirol muslimin wal muslimat rohimakumullah, peristiwa isra’ dan mi’raj bukanlah hanya pesan sholat semata, namun di sini merupakan puncak dari penonjolan diri dan figur nabi SAW sebagai manusia terbaik sepanjang zaman, pemimpin umat dunia dan akhirat serta kekasih yang paling dikasihi dan dicintai Tuhan semesta alam Allah SAW. Ini merupakan sebuah cerminan bahwa kita sudah semestinya bangga telah menjadi sebagai umat nabi SAW  dan kita harus mencintainya sebagaimana Allah begitu mencintai Nabi SAW hingga diberikan mu’jizat yang tidak pernah diberikan kepada nabi dan rasul sebelumnya. Semoga kita semua masuk dalam golongan orang-orang yang mencintai nabi SAW dan masuk dalam kelompok yang mendapatkan syafaatnya di hari kiamat kelak. Amin


Persitiwa pembedahan

Sebelum keberangkatan isra’nya, Rasulullah SAW memang mengalami peristiwa operasi yang dilakukan oleh makaikat Jibril dibantu oleh Mika’il. Peristiwa ini sesungguhnya bukanlah untuk membersihkan kotoran-kotoran. Tidak juga untuk mengeluarkan nafsu syaitan dalam hati dalam hati nabi SAW. Operasi ini dilakukan untuk memasukkan ilmu-ilmu khusus untuk nabi, seperti disitir oleh Habib Ali bin Muhammad Al-habsyi dalam kitabnya Shimtudduror dari hadits riwayat sayiidina Abbas RA.

Mengapa nabi SAW perlu dimasukkan ilmu-ilmu khusus?

Karena walau bagaimanapun nabi SAW adalah manusia dan beliau akan diberangkatkan dengan penuh kesadaran, jiwa dan raganya. Tidak dalam mimpi maupun khayal. Dalam perjalanannya, nabi SAW melaluinya dengan kecepatan yang maha tinggi, bertemu dan berbicara dengan para nabi dan rasul sebelumnya, melihat tanda-tanda dan kebesaran Allah, naik ke langit-langitnya Allah dan puncaknya sampai ke sidrotil muntaha lalu ke baitul ma’mur hingga rafrafah dan bertemu dengan Allah SAW.
Semua ini tidak mungkin dapat dilalui oleh manusia siapapun, karena kodrat manusia yang lemah. Maka dengan demikian, terjadilah operasi untuk memasukkan ilmu-ilmu khusus di dalam jiwa Rasulullah SAW.

Makna Isra' dan Mi'raj

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa 'ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad saw. tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri? Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira kilah mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar AlShiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: "Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya." Oleh sebab itu, uraian ini berusaha untuk memahami peristiwa tersebut melalui apa yang kita percayai kebenarannya berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang dikemukakan oleh Al-Quran.
Salah satu hal yang menjadi pusat pembahasan Al-Quran adalah masa depan ruhani manusia demi mewujudkan keutuhannya. Uraian Al-Quran tentang Isra' dan Mi'raj merupakan salah satu cara pembuatan skema ruhani tersebut. Hal ini terbukti jelas melalui pengamatan terhadap sistematika dan kandungan Al-Quran, baik dalam bagian-bagiannya yang terbesar maupun dalam ayat-ayatnya yang terinci.
Tujuh bagian pertama Al-Quran membahas pertumbuhan jiwa manusia sebagai pribadi-pribadi yang secara kolektif membentuk umat.
Dalam bagian kedelapan sampai keempat belas, Al-Quran menekankan pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan masyarakat dan konsolidasinya. Tema bagian kelima belas mencapai klimaksnya dan tergambar pada pribadi yang telah mencapai tingkat tertinggi dari manusia seutuhnya, yakni al-insan al-kamil. Dan karena itu, peristiwa Isra' dan Mi'raj merupakan awal bagian ini, dan berkelanjutan hingga bagian kedua puluh satu, di mana kisah para rasul diuraikan dari sisi pandangan tersebut. Kemudian, masalah perkembangan ruhani manusia secara orang per orang diuraikan lebih lanjut sampai bagian ketiga puluh, dengan penjelasan tentang hubungan perkembangan tersebut dengan kehidupan masyarakat secara timbal-balik.
Kemudian, kalau kita melihat cakupan lebih kecil, maka ilmuwan-ilmuwan Al-Quran, sebagaimana ilmuwan-ilmuwan pelbagai disiplin ilmu, menyatakan bahwa segala sesuatu memiliki pendahuluan yang mengantar atau menyebabkannya. Imam Al-Suyuthi berpendapat bahwa pengantar satu uraian dalam Al-Quran adalah uraian yang terdapat dalam surat sebelumnya.204 Sedangkan inti uraian satu surat dipahami dari nama surat tersebut, seperti dikatakan oleh Al-Biqai'i.205 Dengan demikian, maka pengantar uraian peristiwa Isra' adalah surat yang dinamai Tuhan dengan sebutan Al-Nahl, yang berarti lebah.
Mengapa lebah? Karena makhluk ini memiliki banyak keajaiban. Keajaibannya itu bukan hanya terlihat pada jenisnya, yang jantan dan betina, tetapi juga jenis yang bukan jantan dan bukan betina. Keajaibannya juga tidak hanya terlihat pada sarang-sarangnya yang tersusun dalam bentuk lubang-lubang yang sama bersegi enam dan diselubungi oleh selaput yang sangat halus menghalangi udara atau bakteri menyusup ke dalamnya, juga tidak hanya terletak pada khasiat madu yang dihasilkannya, yang menjadi makanan dan obat bagi sekian banyak penyakit. Keajaiban lebah mencakup itu semua, dan mencakup pula sistem kehidupannya yang penuh disiplin dan dedikasi di bawah pimpinan seekor "ratu". Lebah yang berstatus ratu ini pun memiliki keajaiban dan keistimewaan. Misalnya, bahwa sang ratu ini, karena rasa "malu" yang dimiliki dan dipeliharanya, telah menjadikannya enggan untuk mengadakan hubungan seksual dengan salah satu anggota masyarakatnya yang jumlahnya dapat mencapai sekitar tiga puluh ribu ekor. Di samping itu, keajaiban lebah juga tampak pada bentuk bahasa dan cara mereka berkomunikasi, yang dalam hal ini telah dipelajari secara mendalam oleh seorang ilmuwan Austria, Karl Van Fritch.
Lebah dipilih Tuhan untuk menggambarkan keajaiban ciptaan-Nya agar menjadi pengantar keajaiban perbuatan-Nya dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Lebah juga dipilih sebagai pengantar bagi bagian yang menjelaskan manusia seutuhnya. Karena manusia seutuhnya, manusia mukmin, menurut Rasul, adalah "bagaikan lebah, tidak makan kecuali yang baik dan indah, seperti kembang yang semerbak; tidak menghasilkan sesuatu kecuali yang baik dan berguna, seperti madu yang dihasilkan lebah itu."
Dalam cakupan yang lebih kecil lagi, kita melontarkan pandangan kepada ayat pertama surat pengantar tersebut. Di sini Allah berfirman: Telah datang ketetapan Allah (Hari Kiamat). Oleh sebab itu janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya.
Dunia belum kiamat, mengapa Allah mengatakan kiamat telah datang? Al-Quran menyatakan "telah datang ketetapan Allah," mengapa dinyatakan-Nya juga "jangan meminta agar disegerakan datangnya"? Ini untuk memberi isyarat sekaligus pengantar bahwa Tuhan tidak mengenal waktu untuk mewujudkan sesuatu. Hari ini, esok, juga kemarin, adalah perhitungan manusia, perhitungan makhluk. Tuhan sama sekali tidak terikat kepadanya, sebab adalah Dia yang menguasai masa. Karenanya Dia tidak membutuhkan batasan untuk mewujudkan sesuatu. Dan hal ini ditegaskan-Nya dalam surat pengantar ini dengan kalimat: Maka perkataan Kami kepada sesuatu, apabila Kami menghendakinya, Kami hanya menyatakan kepadanya "kun" (jadilah), maka jadilah ia (QS 16:40).
Di sini terdapat dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, kenyataan ilmiah menunjukkan bahwa setiap sistem gerak mempunyai perhitungan waktu yang berbeda dengan sistem gerak yang lain. Benda padat membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan suara. Suara pun membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan cahaya. Hal ini mengantarkan para ilmuwan, filosof, dan agamawan untuk berkesimpulan bahwa, pada akhirnya, ada sesuatu yang tidak membutuhkan waktu untuk mencapai sasaran apa pun yang dikehendaki-Nya. Sesuatu itulah yang kita namakan Allah SWT, Tuhan Yang Mahaesa.
Kedua, segala sesuatu, menurut ilmuwan, juga menurut Al-Quran, mempunyai sebab-sebab. Tetapi, apakah sebab-sebab tersebut yang mewujudkan sesuatu itu? Menurut ilmuwan, tidak. Demikian juga menurut Al-Quran. Apa yang diketahui oleh ilmuwan secara pasti hanyalah sebab yang mendahului atau berbarengan dengan terjadinya sesuatu. Bila dinyatakan bahwa sebab itulah yang mewujudkan dan menciptakan sesuatu, muncul sederet keberatan ilmiah dan filosofis.
Bahwa sebab mendahului sesuatu, itu benar. Namun kedahuluan ini tidaklah dapat dijadikan dasar bahwa ialah yang mewujudkannya. "Cahaya yang terlihat sebelum terdengar suatu dentuman meriam bukanlah penyebab suara tersebut dan bukan pula penyebab telontarnya peluru," kata David Hume. "Ayam yang selalu berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab terbitnya fajar," kata Al-Ghazali jauh sebelum David Hume lahir. "Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C, dan dari C ke D, tidaklah dapat dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa pergerakannya dari B ke C adalah akibat pergerakannya dari A ke B," demikian kata Isaac Newton, sang penemu gaya gravitasi.
Kalau demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam tiada lain kecuali "a summary o f statistical averages" (ikhtisar dari rerata statistik). Sehingga, sebagaimana dinyatakan oleh Pierce, ahli ilmu alam, apa yang kita namakan "kebetulan" dewasa ini, adalah mungkin merupakan suatu proses terjadinya suatu kebiasaan atau hukum alam. Bahkan Einstein, lebih tegas lagi, menyatakan bahwa semua apa yang terjadi diwujudkan oleh "superior reasoning power" (kekuatan nalar yang superior). Atau, menurut bahasa Al-Quran, "Al-'Aziz Al-'Alim", Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui. Inilah yang ditegaskan oleh Tuhan dalam surat pengantar peristiwa Isra' dan Mi'raj itu dengan firman-Nya: Kepada Allah saja tunduk segala apa yang di langit dan di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, sedangkan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang berkuasa atas mereka dan mereka melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka) (QS 16:49-50).
Pengantar berikutnya yang Tuhan berikan adalah: Janganlah meminta untuk tergesa-gesa. Sayangnya, manusia bertabiat tergesa-gesa, seperti ditegaskan Tuhan ketika menceritakan peristiwa Isra' ini, Adalah manusia bertabiat tergesa-gesa (QS 17:11). Ketergesa-gesaan inilah yang antara lain menjadikannya tidak dapat membedakan antara: (a) yang mustahil menurut akal dengan yang mustahil menurut kebiasaan, (b) yang bertentangan dengan akal dengan yang tidak atau belum dimengerti oleh akal, dan (c) yang rasional dan irasional dengan yang suprarasional.
Dari segi lain, dalam kumpulan ayat-ayat yang mengantarkan uraian Al-Quran tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, dalam surat Isra' sendiri, berulang kali ditegaskan tentang keterbatasan pengetahuan manusia serta sikap yang harus diambilnya menyangkut keterbatasan tersebut. Simaklah ayat-ayat berikut: Dia (Allah) menciptakan apa-apa (makhluk) yang kamu tidak mengetahuinya (QS 16:8); Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui (QS 16:74); dan Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali sedikit (QS 17:85); dan banyak lagi lainnya. Itulah sebabnya, ditegaskan oleh Allah dengan firman-Nya: Dan janganlah kamu mengambil satu sikap (baik berupa ucapan maupun tindakan) yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang hal tersebut; karena sesungguhnya pendengaran, mata, dan hati, kesemuanya itu kelak akan dimintai pertanggungjawaban (QS 17:36).
Apa yang ditegaskan oleh Al-Quran tentang keterbatasan pengetahuan manusia ini diakui oleh para ilmuwan pada abad ke-20. Schwart, seorang pakar matematika kenamaan Prancis, menyatakan: "Fisika abad ke-19 berbangga diri dengan kemampuannya menghakimi segenap problem kehidupan, bahkan sampai kepada sajak pun. Sedangkan fisika abad ke-20 ini yakin benar bahwa ia tidak sepenuhnya tahu segalanya, walaupun yang disebut materi sekalipun." Sementara itu, teori Black Holes menyatakan bahwa "pengetahuan manusia tentang alam hanyalah mencapai 3% saja, sedang 97% selebihnya di luar kemampuan manusia."
Kalau demikian, seandainya, sekali lagi seandainya, pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman secara ilmiah atas peristiwa Isra' dan Mi'raj ini; kalau betul demikian adanya dan sampai saat ini masih juga demikian, maka tentunya usaha atau tuntutan untuk membuktikannya secara "ilmiah" menjadi tidak ilmiah lagi. Ini tampak semakin jelas jika diingat bahwa asas filosofis dari ilmu pengetahuan adalah trial and error, yakni observasi dan eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat dan waktu, oleh siapa saja. Padahal, peristiwa Isra' dan Mi'raj hanya terjadi sekali saja. Artinya, terhadapnya tidak dapat dicoba, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard, tokoh eksistensialisme, menyatakan: "Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia tidak tahu." Dan itu pula sebabnya, mengapa Immanuel Kant berkata: "Saya terpaksa menghentikan penyelidikan ilmiah demi menyediakan waktu bagi hatiku untuk percaya." Dan itu pulalah sebabnya mengapa "oleh-oleh" yang dibawa Rasul dari perjalanan Isra' dan Mi'raj ini adalah kewajiban shalat; sebab shalat merupakan sarana terpenting guna menyucikan jiwa dan memelihara ruhani.
Kita percaya kepada Isra' dan Mi'raj, karena tiada perbedaan antara peristiwa yang terjadi sekali dan peristiwa yang terjadi berulang kali selama semua itu diciptakan serta berada di bawah kekuasaan dan pengaturan Tuhan Yang Mahaesa.
Sebelum Al-Quran mengakhiri pengantarnya tentang peristiwa ini, dan sebelum diungkapnya peristiwa ini, digambarkannya bagaimana kelak orang-orang yang tidak mempercayainya dan bagaimana pula sikap yang harus diambilnya. Allah berfirman: Bersabarlah wahai Muhammad; tiadalah kesabaranmu melainkan dengan pertolongan Allah. Janganlah kamu bersedih hati terhadap (keingkaran) mereka. Jangan pula kamu bersempit dada terhadap apa-apa yang mereka tipudayakan. Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang orang yang berbuat kebajikan. (QS 16:127-128). Inilah pengantar Al-Quran yang disampaikan sebelum diceritakannya peristiwa Isra' dan Mi'raj.
Agaknya, yang lebih wajar untuk dipertanyakan bukannya bagaimana Isra' dan Mi 'raj terjadi, tetapi mengapa Isra' dan Mi 'raj.
Seperti yang telah dikemukakan pada awal uraian, Al-Quran, pada bagian kedelapan sampai bagian kelima belas, menguraikan dan menekankan pentingnya pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat beserta konsolidasinya. Ini mencapai klimaksnya pada bagian kelima belas atau surat ketujuh belas, yang tergambar pada pribadi hamba Allah yang di-isra'-kan ini, yaitu Muhammad saw., serta nilai-nilai yang diterapkannya dalam masyarakat beliau. Karena itu, dalam kelompok ayat yang menceritakan peristiwa ini (dalam surat Al-Isra'), ditemukan sekian banyak petunjuk untuk membina diri dan membangun masyarakat.
Pertama, ditemukan petunjuk untuk melaksanakan shalat lima waktu (pada ayat 78). Dan shalat ini pulalah yang merupakan inti dari peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, karena shalat pada hakikatnya merupakan kebutuhan mutlak untuk mewujudkan manusia seutuhnya, kebutuhan akal pikiran dan jiwa manusia, sebagaimana ia merupakan kebutuhan untuk mewujudkan masyarakat yang diharapkan oleh manusia seutuhnya. Shalat dibutuhkan oleh pikiran dan akal manusia, karena ia merupakan pengejawantahan dari hubungannya dengan Tuhan, hubungan yang menggambarkan pengetahuannya tentang tata kerja alam raya ini, yang berjalan di bawah satu kesatuan sistem. Shalat juga menggambarkan tata inteligensia semesta yang total, yang sepenuhnya diawasi dan dikendalikan oleh suatu kekuatan Yang Mahadahsyat dan Maha Mengetahui, Tuhan Yang Mahaesa. Dan bila demikian, maka tidaklah keliru bila dikatakan bahwa semakin mendalam pengetahuan seseorang tentang tata kerja alam raya ini, akan semakin tekun dan khusyuk pula ia melaksanakan shalatnya.
Shalat juga merupakan kebutuhan jiwa. Karena, tidak seorang pun dalam perjalanan hidupnya yang tidak pernah mengharap atau merasa cemas. Hingga, pada akhirnya, sadar atau tidak, ia menyampaikan harapan dan keluhannya kepada Dia Yang Mahakuasa. Dan tentunya merupakan tanda kebejatan akhlak dan kerendahan moral, apabila seseorang datang menghadapkan dirinya kepada Tuhan hanya pada saat dirinya didesak oleh kebutuhannya.
Shalat juga dibutuhkan oleh masyarakat manusia, karena shalat, dalam pengertiannya yang luas, merupakan dasar-dasar pembangunan. Orang Romawi Kuno mencapai puncak keahlian dalam bidang arsitektur, yang hingga kini tetap mengagumkan para ahli, juga karena adanya dorongan tersebut. Karena itu, Alexis Carrel menyatakan: "Apabila pengabdian, shalat, dan doa yang tulus kepada Sang Maha Pencipta disingkirkan dari tengah kehidupan bermasyarakat, maka hal itu berarti kita telah menandatangani kontrak bagi kehancuran masyarakat tersebut." Dan, untuk diingat, Alexis Carrel bukanlah seorang yang memiliki latar belakang pendidikan agama. Ia adalah seorang dokter yang telah dua kali menerima hadiah Nobel atas hasil penelitiannya terhadap jantung burung gereja serta pencangkokannya. Dan, menurut Larouse Dictionary, Alexis Carrel dinyatakan sebagai satu pribadi yang pemikiran-pemikirannya secara mendasar akan berpengaruh pada penghujung abad XX ini.
Apa yang dinyatakan ilmuwan ini sejalan dengan penegasan Al-Quran yang ditemukan dalam pengantar uraiannya tentang peristiwa Isra' dalam surat Al-Nahl ayat 26. Di situ digambarkan pembangkangan satu kelompok masyarakat terhadap petunjuk Tuhan dan nasib mereka menurut ayat tersebut: Allah menghancurkan bangunan-bangunan mereka dari fondasinya, lalu atap bangunan itu menimpa mereka dari atas; dan datanglah siksaan kepada mereka dari arah yang mereka tidak duga (QS 16:26).
Kedua, petunjuk-petunjuk lain yang ditemukan dalam rangkaian ayat-ayat yang menjelaskan peristiwa Isra' dan Mi'raj, dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur, antara lain adalah: Jika kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mereka menaati Allah untuk hidup dalam kesederhanaan), tetapi mereka durhaka; maka sudah sepantasnyalah berlaku terhadap mereka ketetapan Kami dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya (QS 17:16).
Ditekankan dalam surat ini bahwa "Sesungguhnya orang yang hidup berlebihan adalah saudara-saudara setan" (QS 17:27).
Dan karenanya, hendaklah setiap orang hidup dalam kesederhanaan dan keseimbangan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu (pada lehermu dan sebaliknya), jangan pula kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal (QS 17:29).
Bahkan, kesederhanaan yang dituntut bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga dalam bidang ibadah. Kesederhanaan dalam ibadah shalat misalnya, tidak hanya tergambar dari adanya pengurangan jumlah shalat dari lima puluh menjadi lima kali sehari, tetapi juga tergambar dalam petunjuk yang ditemukan di surat Al-Isra' ini juga, yakni yang berkenaan dengan suara ketika dilaksanakan shalat: Janganlah engkau mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula merendahkannya, tetapi carilah jalan tengah di antara keduanya (QS 17: 110).
Jalan tengah di antara keduanya ini berguna untuk dapat mencapai konsentrasi, pemahaman bacaan dan kekhusyukan. Di saat yang sama, shalat yang dilaksanakan dengan "jalan tengah" itu tidak mengakibatkan gangguan atau mengundang gangguan, baik gangguan tersebut kepada saudara sesama Muslim atau non-Muslim, yang mungkin sedang belajar, berzikir, atau mungkin sedang sakit, ataupun bayi-bayi yang sedang tidur nyenyak. Mengapa demikian? Karena, dalam kandungan ayat yang menceritakan peristiwa ini, Tuhan menekankan pentingnya persatuan masyarakat seluruhnya. Dengan demikian, masing-masing orang dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan dan bidangnya, tanpa mempersoalkan agama, keyakinan, dan keimanan orang lain. Ini sesuai dengan firman Allah:
Katakanlah wahai Muhammad, "Hendaklah tiap-tiap orang berkarya menurut bidang dan kemampuannya masing-masing." Tuhan lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (QS 17:84).
Akhirnya, sebelum uraian ini disudahi, ada baiknya dibacakan ayat terakhir dalam surat yang menceritakan peristiwa Isra' dan Mi'raj ini: Katakanlah wahai Muhammad: "Percayalah kamu atau tidak usah percaya (keduanya sama bagi Tuhan)." Tetapi sesungguhnya mereka yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila disampaikan kepada mereka, maka mereka menyungkur atas muka mereka, sambil bersujud (QS 17: 107).
Itulah sebagian kecil dari petunjuk dan kesan yang dapat kami pahami, masing-masing dari surat pengantar uraian peristiwa Isra ; yakni surat Al-Nahl, dan surat Al-Isra' sendiri. Khusus dalam pemahaman tentang peristiwa Isra' dan Mi'raj ini, semoga kita mampu menangkap gejala dan menyuarakan keyakinan tentang adanya ruh intelektualitas Yang Mahaagung, Tuhan Yang Mahaesa di alam semesta ini, serta mampu merumuskan kebutuhan umat manusia untuk memujaNya sekaligus mengabdi kepada-Nya.

Catatan kaki

204 Lihat bukunya, Asrar Tartib Al-Qur'an.
205 Lihat dalam pengantar untuk bukunya, Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar.

Sabtu, 02 Juli 2011

Teaching Vocabulary To Advanced Students: A Lexical Approach

 by Solange Moras, Sao Carlos, Brazil, July 2001

1.    ADVANCED STUDENTS AND THEIR NEEDS
Advanced learners can generally communicate well, having learnt all the basic structures of the language. However, they need to broaden their vocabulary to express themselves more clearly and appropriately in a wide range of situations.  
Students might even have a receptive knowledge of a wider range of vocabulary, which means they can recognise the item and recognise its meaning. Nevertheless, their productive use of a wide range of vocabulary is normally limited, and this is one of the areas that need greater attention. At this stage we are concerned not only with students understanding the meaning of words, but also being able to use them appropriately, taking into account factors such as oral / written use of the language; degree of formality, style and others, which we are going to detail in Part 2. 

2.    THE TEACHING OF VOCABULARY 
Traditionally, the teaching of vocabulary above elementary levels was mostly incidental, limited to presenting new items as they appeared in reading or sometimes listening texts. This indirect teaching of vocabulary assumes that vocabulary expansion will happen through the practice of other language skills, which has been proved not enough to ensure vocabulary expansion. 
Nowadays it is widely accepted that vocabulary teaching should be part of the syllabus, and taught in a well-planned and regular basis. Some authors, led by Lewis (1993) argue that vocabulary should be at the centre of language teaching, because ‘language consists of grammaticalised lexis, not lexicalised grammar’. We are going to discuss aspects of the ‘Lexical approach’ in Part 2. 
There are several aspects of lexis that need to be taken into account when teaching vocabulary. The list below is based on the work of Gairns and Redman (1986): 
·      Boundaries between conceptual meaning: knowing not only what lexis refers to, but also where the boundaries are that separate it from words of related meaning (e.g. cup, mug, bowl).
·      Polysemy: distinguishing between the various meaning of a single word form with several but closely related meanings (head: of a person, of a pin, of an organisation).
·      Homonymy: distinguishing between the various meaning of a single word form which has several meanings which are NOT closely related ( e.g. a file: used to put papers in or a tool).
·      Homophyny:understanding words that have the same pronunciation but different spellings and meanings (e.g. flour, flower).
·      Synonymy: distinguishing between the different shades of meaning that synonymous words have (e.g. extend, increase, expand).
·      Affective meaning: distinguishing between the attitudinal and emotional factors (denotation and connotation), which depend on the speakers attitude or the situation. Socio-cultural associations of lexical items is another important factor.
·      Style, register, dialect: Being able to distinguish between different levels of formality, the effect of different contexts and topics, as well as differences in geographical variation.
·      Translation: awareness of certain differences and similarities between the native and the foreign language (e.g. false cognates).
·      Chunks of language: multi-word verbs, idioms, strong and weak collocations, lexical phrases.
·      Grammar of vocabulary: learning the rules that enable students to build up different forms of the word or even different words from that word (e.g. sleep, slept, sleeping; able, unable; disability).
·      Pronunciation: ability to recognise and reproduce items in speech. 
The implication of the aspects just mentioned in teaching is that the goals of vocabulary teaching must be more than simply covering a certain number of words on a word list. We must use teaching techniques that can help realise this global concept of what it means to know a lexical item. And we must also go beyond that, giving learner opportunities to use the items learnt and also helping them to use effective written storage systems. 

2.1.     MEMORY AND STORAGE SYSTEMS 
Understanding how our memory works might help us create more effective ways to teach vocabulary. Research in the area, cited by Gairns (1986) offers us some insights into this process. 
It seems that learning new items involve storing them first in our short-term memory, and afterwards in long-term memory. We do not control this process consciously but there seems to be some important clues to consider. First, retention in short-term memory is not effective if the number of chunks of information exceeds seven. Therefore, this suggests that in a given class we should not aim at teaching more than this number. However, our long-term memory can hold any amount of information. 
Research also suggests that our ‘mental lexicon’ is highly organised and efficient, and that semantic related items are stored together. Word frequency is another factor that affects storage, as the most frequently used items are easier to retrieve. We can use this information to attempt to facilitate the learning process, by grouping items of vocabulary in semantic fields, such as topics (e.g. types of fruit). 
Oxford (1990) suggests memory strategies to aid learning, and these can be divided into:
·      creating mental linkages: grouping, associating, placing new words into a context;
·      applying images and sounds: using imagery, semantic mapping, using keywords and representing sounds in memory;
·      reviewing well, in a structured way;
·      employing action: physical response or sensation, using mechanical techniques.
The techniques just mentioned can be used to greater advantage if we can diagnose learning style preferences (visual, aural, kinesthetic, tactile) and make students aware of different memory strategies. 
Meaningful tasks however seem to offer the best answer to vocabulary learning, as they rely on students’ experiences and reality to facilitate learning. More meaningful tasks also require learners to analyse and process language more deeply, which should help them retain information in long-term memory.  
Forgetting seems to be an inevitable process, unless learners regularly use items they have learnt. Therefore, recycling is vital, and ideally it should happen one or two days after the initial input. After that, weekly or monthly tests can check on previously taught items. 
The way students store the items learned can also contribute to their success or failure in retrieving them when needed. Most learners simply list the items learnt in chronological order, indicating meaning with translation. This system is far from helpful, as items are de-contextualised, encouraging students to over generalise usage of them. It does not allow for additions and refinements nor indicates pronunciation.  
Teachers can encourage learners to use other methods, using topics and categories to organise a notebook, binder or index cards. Meaning should be stored using English as much as possible, and also giving indication for pronunciation. Diagrams and word trees can also be used within this topic/categories organisation. The class as a whole can keep a vocabulary box with cards, which can be used for revision/recycling regularly.  
Organising this kind of storage system is time-consuming and might not appeal to every learner. Therefore adapting their chronological lists to include headings for topics and a more complete definition of meaning would already be a step forward. 

2.2.        DEALING WITH MEANING 
In my opinion the most important aspect of vocabulary teaching for advanced learners is to foster learner independence so that learners will be able to deal with new lexis and expand their vocabulary beyond the end of the course. Therefore guided discovery, contextual guesswork and using dictionaries should be the main ways to deal with discovering meaning. 
Guided discovery involve asking questions or offering examples that guide students to guess meanings correctly. In this way learners get involved in a process of semantic processing that helps learning and retention.  
Contextual guesswork means making use of the context in which the word appears to derive an idea of its meaning, or in some cases, guess from the word itself, as in words of Latin origin. Knowledge of word formation, e.g. prefixes and suffixes, can also help guide students to discover meaning.  Teachers can help students with specific techniques and practice in contextual guesswork, for example, the understanding of discourse markers and identifying the function of the word in the sentence (e.g. verb, adjective, noun). The latter is also very useful when using dictionaries.  
Students should start using EFL dictionaries as early as possible, from Intermediate upwards.  With adequate training, dictionaries are an invaluable tool for learners, giving them independence from the teacher.  As well as understanding meaning, students are able to check pronunciation, the grammar of the word (e.g. verb patterns, verb forms, plurality, comparatives, etc.), different spelling (American versus British), style and register, as well as examples that illustrate usage. 

2.3.        USING LANGUAGE 
Another strategy for advanced learners is to turn their receptive vocabulary items into productive ones. In order to do that, we need to refine their understanding of the item, exploring boundaries between conceptual meaning, polysemy, synonymy, style, register, possible collocations, etc., so that students are able to use the item accurately.  
We must take into account that a lexical item is most likely to be learned when a learner feels a personal need to know it, or when there is a need to express something to accomplish the learner’s own purposes. Therefore, it means that the decision to incorporate a word in ones productive vocabulary is entirely personal and varies according to each student’s motivation and needs. 
Logically, production will depend on motivation, and this is what teachers should aim at promoting, based on their awareness of students needs and preferences. Task-based learning should help teachers to provide authentic, meaningful tasks in which students engage to achieve a concrete output, using appropriate language for the context.  

2.4.      THE LEXICAL APPROACH 
We could not talk about vocabulary teaching nowadays without mentioning Lewis (1993), whose controversial, thought-provoking ideas have been shaking the ELT world since its publication. We do not intend to offer a complete review of his work, but rather mention some of his contributions that in our opinion can be readily used in the classroom. 
His most important contribution was to highlight the importance of vocabulary as being basic to communication.  We do agree that if learners do not recognise the meaning of keywords they will be unable to participate in the conversation, even if they know the morphology and syntax. On the other hand, we believe that grammar is equally important in teaching, and therefore in our opinion, it is not the case to substitute grammar teaching with vocabulary teaching, but that both should be present in teaching a foreign language. 
Lewis himself insists that his lexical approach is not simply a shift of emphasis from grammar to vocabulary teaching, as ‘language consists not of traditional grammar and vocabulary, but often of multi-word prefabricated chunks’(Lewis, 1997). Chunks include collocations, fixed and semi-fixed expressions and idioms, and according to him, occupy a crucial role in facilitating language production, being the key to fluency. 
An explanation for native speakers’ fluency is that vocabulary is not stored only as individual words, but also as parts of phrases and larger chunks, which can be retrieved from memory as a whole, reducing processing difficulties. On the other hand, learners who only learn individual words will need a lot more time and effort to express themselves. 
Consequently, it is essential to make students aware of chunks, giving them opportunities to identify, organise and record these. Identifying chunks is not always easy, and at least in the beginning, students need a lot of guidance. 
Hill (1999) explains that most learners with ‘good vocabularies’ have problems with fluency because their ‘collocational competence’ is very limited, and that, especially from Intermediate level, we should aim at increasing their collocational competence with the vocabulary they have already got. For Advance learners he also suggests building on what they already know, using better strategies and increasing the number of items they meet outside the classroom. 
The idea of what it is to ‘know’ a word is also enriched with the collocational component. According to Lewis (1993) ‘being able to use a word involves mastering its collocational range and restrictions on that range’. I can say that using all the opportunities to teach chunks rather than isolated words is a feasible idea that has been working well in my classes, and which is fortunately coming up in new coursebooks we are using. However, both teachers and learners need awareness raising activities to be able to identify multi-word chunks. 
Apart from identifying chunks, it is important to establish clear ways of organising and recording vocabulary. According to Lewis (1993), ‘language should be recorded together which characteristically occurs together’, which means not in a linear, alphabetical order, but in collocation tables, mind-maps, word trees, for example. He also suggests the recording of whole sentences, to help contextualization, and that storage of items is highly personal, depending on each student’s needs. 
We have already mentioned the use of dictionaries as a way to discover meaning and foster learner independence.  Lewis extends the use of dictionaries to focus on word grammar and collocation range, although most dictionaries are rather limited in these. 
Lewis also defends the use of ‘real’ or ‘authentic’ material from the early stages of learning, because ‘acquisition is facilitated by material which is only partly understood’ (Lewis, 1993, p. 186). Although he does not supply evidence for this, I agree that students need to be given tasks they can accomplish without understanding everything from a given text, because this is what they will need as users of the language. He also suggests that it is better to work intensively with short extracts of authentic material, so they are not too daunting for students and can be explored for collocations. 
Finally, the Lexical Approach and Task-Based Learning have some common principles, which have been influencing foreign language teaching. Both approaches regard intensive, roughly-tuned input as essential for acquisition, and maintain that successful communication is more important than the production of accurate sentences. We certainly agree with these principles and have tried to use them in our class. 

3.    RATIONALE OF THE LESSON 
We believe that the Lexical Approach has much to offer in the area of vocabulary teaching, and therefore we have tried to plan a lesson that is based on its main concepts, specially exploring the use of collocations. 

3.1 CHOICE OF MATERIAL 
As both the Task-based and the Lexical approach suggest, we wanted to use authentic material to expose our students to rich, contextualised, naturally-occurring language.  
For the topic of holidays we chose a big number of holiday brochures (about twenty five) and read them through, trying to notice recurrent patterns of lexis. Confirming what Hill (1999) affirmed, this analysis showed us a large number of collocations, specially adjective + noun ones, and that some were extremely common, such as golden sandy beaches, rolling countryside and others. 
We did not want to overload students with much reading, which would detract them from the main task of working with vocabulary, and therefore we selected twenty-one short yet meaningful extracts in which common collocations appeared. 
3.2. NOTICING COLLOCATIONS AND DEALING WITH MEANING 
Although the extracts are authentic, we do not think students will have many problems in understanding most of the collocations, as they contain vocabulary which they probably know receptively. This again should confirm the idea that students know individual words but lack collocational competence. 
We are going to work as a whole class in step 5 to make students aware of the collocations we will be focusing on, and hopefully this will enable students to find other collocations. Regular awareness raising activities like this should help students improve their collocational competence, and even fluency, as discussed in part 2.4. 
For the few words that we predict students will not fully understand meaning of, or are not sure how they are pronounced, we are going to ask them to look these up in monolingual dictionaries. As we said in part 2.2., dictionaries are a vital tool for Advanced learners, and so is contextual guesswork, which we are going to encourage before they look the words up. We are also going to ask students to notice examples given in the dictionary, observing and recording other possible collocations of the words, as suggested by Lewis. 
We have also taken into account the importance of recording the vocabulary observed during the class. The list that students will produce in step 9, to prepare for the final task, is also a way of recording vocabulary in an organised, personalised and meaningful way, as suggested by Lewis in part 2.4. 

3.3. GROUP WORK        
Working in groups help fostering learning independence, and specially in vocabulary work, learners can exchange knowledge, asking others to explain unknown items. 
We also hope that group work will be a motivating factor, as students talk about places they have been on holiday to, trying to remember details together, exchanging impressions and even good memories! 

3.4. CHOICE OF TASK 
As we said earlier in part 2.3, we find it vital that students are given opportunities to use the language they are learning in a realistic context. Therefore, we have devised the final task to meet this principle. 
Writing a leaflet is a possible task in the Cambridge Certificate of Advanced English, which these students are preparing for. It is also a relevant, real life task that we expect will interest students. I always like to mention that the standard of leaflets written in English in Brazil is very poor, and that they could do a much better job. 
We expect that this writing should also enable students to use the vocabulary they have studied in a realistic context, and that they could be motivated to learn even more vocabulary they feel they need to accomplish the task. 
The completion of the final task for homework will also help to reinforce and revise the vocabulary learnt, giving students a better chance to store the items in their long-term memory, as we mentioned in part 2.1. 
We are going to explain what the final task will be right after step 3, in which they should notice what kind of text the extracts come from. By doing this we want to motivate students to do the enabling tasks, mainly to show them the need to learn new vocabulary. 
As this is a borrowed group, it might be the case the students are not yet familiar with the leaflet format, in which case more input would be necessary before the conclusion of the final task. 
If students are really interested in the task, this could be transformed into a project, involving research and the production of a leaflet or web page in the multi-media centre. 

References

Allen, V. (1983) Techniques in teaching vocabulary. OUP.

Gairns, R. Redman, S.(1986)  Working with words. CUP.

http://www3.telus.net/linguisticsissues/teachhttp://www.blogger.com/post-create.g?blogID=2617029524943782306ingvocabulary.html

Hill, J. (1999) ‘Collocational competence’ English Teaching Professional, 11, pp. 3-6.
Lewis, M. (1993) The lexical approach. LTP.
Lewis, M. (1997) Implementing the lexical approach. LTP
Oxford, R.(1990) Language learning strategies. Newbury House.
Richards, J. (1985) The context of language teaching. CUP.
Scrivener, J. (1994) Learning teaching. Heinemann.
Thornbury, S. (1998) ‘The lexical approach: a journey without maps’. MET, 7 (4), pp. 7-13
Willis, J. (1996) A framework for task-based learning. Longman. 

"S A L A M S E J A H T E R A"