WELCOME TO MY MIKRO BLOGGING (ERI NURYAMAN), I HOPE WE CAN FIND NEW AND MORE KNOWLEDGE

Senin, 05 Maret 2012

HUKUM WARIS



ILMU FARAIDH
HUKUM WARIS

LATAR BELAKANG

Agama Islam merupakan agama yang melindungi dan menjungjung tinggi setiap hak asasi manusia. Diantara pokok ajaran Islam ialah hifdzul mal (perlindungan harta benda), hifdzun nafs (perlindungan jiwa dan raga), hifdzu din (perlindungan agama) semua urusan yang menyangkut kepentingan telah diatur sedemikian rupa guna mempermudah dalam menggapai kepentingan tersebut. Dalam pembagian harta atau pusaka seringkali berujung pada ketidaksesuaian pembagian dan berujung pada permasalahan yang tidak kunjung reda untuk mencegah berbagai permasalahan yang ditimbulkan dalam pembagian pusaka ini dalam agama Islam sudah terdapat tata cara pembagian pusaka yang rasional yang insya Allah tidak akan menimbulkan permasalahan. dalam islam aturan atau tata cara pembagian warisan ini disebut faraidh.

Tujuan
Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk mengetahui dan mengkaji lebih dalam mengenai illmu waris menurut syariat Islam Mengingat banyaknya pembagian harta waris berdasarkan tradisi “lebih tua mendapat lebih banyak”. Selain itu makalah ini kami susun untuk meningkatkan intelektualitas dan khazanah keilmuan penyusun.
Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan  mawaris
2.      Hal apa saja yang menyebabkan seseorang mendapatkan waris
3.      Bagaimanakah ketentuan waris menurut syariat islam
4.      Apa yang dimaksud dengan wasiat?
5.      Bagaimanakah aplikasi nyata waris



BAB I
PENDAHULUAN

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat lingkungannya.
Demikian juga dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Namun dalam makalah ini kami hanya menjelaskan pengertian, sejarah dan hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu mawaris. Adapun penjelasan yang berhubungan dengan ilmu mawaris lainnya akan dijelaskan oleh makalah selanjutnya.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Tentang Pewarisan
  1. I.     Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)
Orang-orang Arab Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu juga mereka berdagang rempah-rempah.
Dalam bidang pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang telah berlaku, bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan atau kaum perempuan tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu pun dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga macam:
  1. Adanya pertalian kerabat (القرية)
Pertalian kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan dan yang paling penting adalah kuat jasmani untuk membela dan mempertahankan keluarga dan kabilah (suku) dari serangan pihak lain. Dengan demikian, para ahli waris pada zaman Jahiliyyah dari golongan kerabat terdiri dari:
a)    Anak laki-laki
b)    Sudara laki-laki
c)    Paman
d)   Anak paman

  1. Adanya janji Prasetia (المخالفة)
Orang-orang yang mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak mendapatkan seperempat harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab-Qabul dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa digunakan, antara lain:
دَمِّىْ دَمُّكَ وَهَدْمِىْ هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ بِكَ
“Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu”.
  1. Adanya pengangkatana anak (تبنّى)
Pengangkatan anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.
Orang yang telah diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta peninggalannya seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.
  1. II.          Pewarisan Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran jumlah mereka sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat, Rasulullah saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang sepaham dan simpatik terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka mempusakai pada masa awal Islam ada tiga macam:
a)    Adanya pertalian kerabat (القربة)
b)   Adanya pengangkatan anak (التبني)
c)    Adanya Hijrah (dari Mekkah ke Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
  1. III.     Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah aqidah umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah dibatalkan oleh firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنَِسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَلِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا مَفْرُوْضًا (النّساء :٧)
“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
…وَأُوْلُواالأرْحَامْ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله إنّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليْمٌ (الأنفال : ٧٥)
“… orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah:
…وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. أُدْعُهُمْ لِأَبَاءِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا أبَاءَهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ فِي الدِّيْنِ وَمَوَلِيْكُمْ …
“… dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab [33]:4-5)
Dari uraian diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi)
B. Pengertian
Lafadz faraidh (الفَرَئِض), sebagai jamak dari lafadz faridhah (فريضة), oleh ulama Faradhiyun diartikan semakna dengan lafadz mafrudhah (مفروضة), yakni bagian yang telah dipastikan atau ditentukan kadarnya. Adapun lafadz al-Mawarits (المواريث) merupakan jamak dari lafadz mirats (ميراث). Maksudnya adalah
التِّرْكَةُ الَّتِي خَلَفَهَا الْمَيِّتُ وَوَزَثَهَا غَيْرُهُ
“Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris)”.
Sedangakan pendapat-pendapat ulama mengenai definisi ilmu faraidh atau Fiqih Mawaris:
  • Muhammad al-Syarbiny mendefinisikan ilmu Faraidh sebagai berikut:
الفِقْهُ المُتَعَلِّقُ بِالإِرْثِ وَمَعْرِفَةِ الْحِسَابِ المُوَصِّلُ اِلَى مَعْرِفَةِ ذَالِكَ وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ الْوَجِبِ مِنَ التَّرْكَةِ لِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ
“Ilmu fiqih yang berkaitan dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan pewarisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris)”.
  • Hasbi Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ التَّوْزِيْعِ
“Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar-kadar yang diterima oelh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya”.
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai berikut:
العِلْمُ الْمُوَصِّلُ إِلَى مَعْرِفَةِ قَدْرٍ مَا يَجِبُ بِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ مِنَ التِّرْكَةِ
“Ilmu yang membahas tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak menerimanya (ahli waris)”.
  • Rifa’I Arief mendefinisikan sebagai berikut:
قَوَاعِدُ وأُصُوْلٌ تُعْرَفُ بِهَا الْوَرِثَهُ وَالنَّصِيْبُ الْمُقَدَّرُ لَهُمْ وَطَرِيْقَهُ تَقْسِبْمِ التَّرْكَةِ لِمُسْتَحِقِّهَا
“Kaidah-kaidah dan pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah ditentukan bagi mereka (ahli waris) dan cara membagikan harta peninggalan kepada orang (ahli waris) yang berhak menerimanya”.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau fiqih Mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan tersebut.
C. Istilah-istilah yang berhubungan dengan fiqh mawarits
1)        القَطْع (al-qath’) yang berarti ketetapan atau kepastian. Misalnya dalam ungkapan  فَرَضْتُ لِفُلانٍ كَذَا مِنَ المَال أي قَطَعْتُ Aku telah menetapkan dengan pasti bagian harta untuk si Fulan’. Dalam firman Allah SWT disebutkan  نَصِيْبًا مَفْرُوضًا …. “sebagai suatu bagian yang telah ditetapkan.” (An-Nisaa [4]:7).
2)        التَقْدِيرْ (at-taqdir) yang berarti suatu ketentuan, seperti firman Allah SWT,…….فريضة فَنِصْفُ ما فَرَضْتُم “….karena itu bayarlah separuh dari jumlah yang telah kau tentukan itu . . .”(al-Baqarah [2]:237).
3)        الإنزال (al-inzal) yang berarti menurunkan, seperti firman Allah, “sesungguhnya, yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hokum-hukum) Al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali….”(al-qashash[28] 85)
4)        التبيين (at-tabyin) yang berarti penjelasan, seperti firman Allah. “Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu….”(at-tamrin [66]: 2)
5)        الإحلال(al-ihlal) yang berarti mengalahkan, seperti firman-Nya, “Tidak suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.”(al-Ahzab[33]:38)
6)         العطاء(al-Atha) yang berarti pemberian, seperti dalam pepatah bangsa Arab yang berbunyi, لا أصَبْتُ مِنْهُ فَرْضًا وَلاَ قَرْضًا أَى عَطَاءً“Aku tidak mendapatkan pemberian atau pun pinjaman darinya’. Kata fardh dalam ungkapan tersebut berarti pemberian
D. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Faraidh
Dalam ayat-ayat Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya menjelaskan keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak memperolehnya, kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah (menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
تَعَلَّمُوا القُرْانَ وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ, فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ اثْنَانِ فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat), sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang memutuskan perkara mereka”.
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Dalam buku lain, kami menemukan bahwa dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syariat Islam dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula hukum belajar dan mengajarkan ilmu faraidh


BAB III
BEBERAPA HAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA PUSAKA


Sebelum kita teruskan urain tentang warisan kepada ahli waris, lebih dahulu akan diterangkan beberapa hak yang wajib didahulukan dari pembagian harta pusaka kepada ahli waris.
1.      Yang terutama adalah hak yang bersangkutan dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya. hak ini hendaklah diambil terlebih dahulu dari jumlah harta sebelum dibagi-bagi kepada ahli waris.
2.      Biaya untuk mengurus mayat, sperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. sesudah hak yang pertama tadi diselesaikan, sisanya barulah dipergunakan untuk biaya mengurus mayat.
3.      Utang. Kalau si mayat meninggalkan utang, utang itu hendaklah dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli warisnya.
4.      Wasiat. kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya, wasiat itu hendaklah dibayar dari jumlah harta peningglannya sebelum dibagi-bagi.
           Firman Allah:
من  بعدوصية يوصي بها اودين . (النساء: 11)
5.      Sesudah dibatar semua hak yang tersebut di atas, barulah harta peningglalan si mayat itu dibagikan kepada ahli waris menurut pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab- Nya yang suci.
A.    Pengertian waris
Kata waris bersal dari bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Ilmu yang mempelajari warisan disebut mawaris atau lebih dikenal dengan istilah faraid. Kata faraid merupakan bentuk jamak dari faridhah, yang diartikan oleh para ulama faradhiun semakna dengan kata mafrudhah, yaitu bagian yang telah ditentukan kadarnya. Sedangkan menurut hasbi as-shidiq ialah
علم يعرف به من يرث ومقدار كل وارث وكيفية التوزيع
“Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak dapat menerima pusaka serta kadar-kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya. (Dian 2006:14)
B.     Sebab-sebab kewarisan
H. Sulaiman rasyid dalam bukunya fiqih Islam menyatakan sebab-sebab waris mewarisi ada empat sebab:
1. Kekeluargaan, (keterangan firman Allah Surat annisa: 7)
Macam-macam garis kekerabatan dan penggolongannya
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab yang antara diwarisi dengan yang mewarisi kerabat dapat digolongkan menjadi tiga:
            1. Furu’ yaitu anak turun (cabang dari si pewaris)
            2. Ushul yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris
            3. Khawasi yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis menyamping seperti saudara paman bibi dan anak turunannya tanpa membeda-bedakan antara anak lai-laki dan perempuan (Faturrahman ilmu waris) dikutip langsung dalam bukku Fiqih Mawaris (Dian 2006:18)
Ditinjau dari segi penerimaan saham pembagiannya mereka digolongkan menjadi empat
1. Golongan yang mendapat bagian tertentu jumlahnya yang disebut ashabul furudh terdiri atas sepuluh orang
2. Golongan kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan sisa ashabul furudh atau mendapat seluruh peninggalan bila tidak ada adhabul furudh sama sekali golongan ini disebut golongan ashobah nasabiah
3. Golongan kerabat yang mendapatkan dua macam bagian yaitu faradh dan ashabah dan nasabiah secara bersama-sama dalam beberapa keadaan, terdiri atas:
a. Ayah, bila ia mewarisi bersama dengan far’ul waris perempuan.
b. Kakek shahih dalam keadaan yang sama dengan di atas dan tidak ada ayah
4. Golongan kerabat yang tidak termasuk ashabul furud dan ashabah, yang disebut dengan dzawil arham.
2. Perkawinan
Perkawinan yang dapat mewarisi memerlukan dua syarat, yaitu:
a. Akad nikah itu sah menurut syariat Islam, baik keduanya telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan:
1. Keumuman ayat-ayat mawaris, dan
2. Tindakan Rasulullah S.A.W bahwa beliau telah memutuskan kewarisan barwa’ binti wasyiq yang suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan sebelum menetapkan maskawinnya.
b. Ikatan perkawinan antara suami-istri itu masih utuh atau masih dianggap masih utuh
3. Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan (wala’)
Wala’ adalah pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang yang memerdekakannya berhak mendapatkan warisan.
Wala’yang dapat dikategorikan kerabat secara hukum, disebut juga dengan istilah wala’ul itqi, dan atau wala’un nikmah. Hal ini karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari setatusnya sebagai hamba sahaya.
Sabda Rasulullah S.A.W.:
انما الولاء لمن اعتق. متفق عليه
“Sesungguhnya hak untuk orang yang memerdekakan” sepakat ahli hadis.
Sabda rasulullah S.A.W.:
الولاء لحمة كلحمة النسب لا يباع ولا يها ب    رواه ابن خزيمة وابن حبان والحاكم
“Hubungan orang yang memerdekakan hamba dengan hamba itu, seperti hubungan turunan dengan turunan tidak dijual dan tidak diberikan”. Riwayat ibnu khuzaimah, ibnu hibban dan hakim.

4. Hubungan Islam
            Orang yang meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya yang tertentu, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitulmal untuk umat Islam, dengan jalan pusaka.
Sabda rasulullah S.A.W.:
انا وارث من لا وارث له                     رواه احمد وابو داود
“Saya menjadi waris orang yang tidak mempunyai ahli waris”. Riwayat Ahmad dan abu daud.
      Rasulullah saw terang tidak menerima pusaka untuk diri beliau sendiri, hanya beliau menerima warisan seperti itu untuk dipergunakan semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam.
C.    Sebab-sebab penghalang kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang menjadikan tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Sebab-sebab yang dapat menghalangi tersebut ialah:
a.       Perbudakan (hamba sahaya)
Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya sebab kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh majikannya. Padahal majikannya adalah orang lain dari kerabat hamba sahaya yang menerima warisan tersebut. Terhalangnya hamba sahaya dalam hal warisan dapat ditinjau dari dua hal, yaitu:
Ø  Mempusakai harta peninggalan  dari ahli warisnya
Seorang hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta warisan ahli warisnya, bila:
a)      Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik. Seandainya ia diberikan harta pusaka dari kerabatnya yang telah meninggal, secara yuridis harta pusaka yang telah diterimanya itu jatuh ketangan majikannya.
b)      Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus sehingga ia telah menjadi keluarga asing yang bukan keluarganya. Padahal  sudah menjadi kesepakatan para ulama bahwa mewariskan kepada orang asing itu tidak boleh dan hukumnya adalah batal
Ø  Mempusakai harta peninggalan kepada ahli warisnya
Seorang budak tidak boleh mewariskan harta peninggalannya- seandainya ia mati meninggalkan harta-kepada ahli warisnya sendiri. Ini karena ia dianggap melarat dan tidak punya peninggalan harta sedikitpun

b.      Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak boleh mewarisi harta peninggalan. Dasar hukum yang menetapkan pembunuhan sebagai halangan mewarisi ialah hadis Nabi SAW.dan ijma’ para sahabat.
Hadist Rasulullah SAW.:
من قتل قتيلا فإنه لا يرثه وإن لم يكن له وارث غيره وان كن والده او ولده فليس لقاتل ميراث      رواه احمد

 “Barang siapa membunuh seorang korban, ia tidak dapat mempusakainya walaupun si korban itu tidak mempunyai waris selain dia, dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan.”
c.       Perbedaan  Agama
Perbedaan agama ialah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan orang yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Misalnya, agamanya orang yang mewarisi itu kafir, sedangkan yang diwarisi beragama Islam, maka orang kafir tidak boleh mewarisi harta peninggalan orang Islam
لايرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم     رواه الجماعة

“Sedang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak boleh mewarisi orang muslim.” (H.R Bukhari-Muslim)
d.      Murtad
Orang yang keluar  dari agama islam, tidak  dapat menerima warisan dari keluarganya yang masih tetap memeluk  agma islam  dan sebaliknya ia pun tidak diwarisi oleh mereka  yang masih beragama islam.
Sabda rasulullah saw.
D.    Ahli waris
Orang –orang yang boleh (mungkin ) mendapat  warisan dari seorang  yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang dari pihak  laki-laki , dan 10  orang dari pihak perempuan :
a)      Dari pihak laki-laki
1)      Anak laki-laki dari  yang meninggal
2)      Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki dan terus kebawah asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3)      Bapa dari yang meninggal
4)      Kakek dari pihak  laki-laki dan terus ke atas pertalian yang belum terpputus  dari pihak laki-laki(ayah)
5)      Saudara kandung
6)      Saudara laki-laki se bapa
7)      Saudaa laki-laki seibu saja
8)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapa
9)      Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapa saja
10)  Saudara laki-laki dari bapa(paman) seibu sebapa
11)  Saudara laki-laki dari bapa sebapa saja.
12)  Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapa
13)  Anak laki-laki dari saudara bapak   sebapa saja
14)  Suami
15)  Laki-laki yang memerdekakan mayat( orang meninggal)
Jika 15 orang tersebut di atas semua ada, maka yang mendapat harta warisan hanya 3 orang saja, yaitu: bapak, anak laki-laki, dan suami.
b)      Dari pihak perempuan
1)      Anak perempuan
2)      Anak perempuan dari anak laki laki dan seterusnya ke bawah dengan syarat pertaliannya dengan  dengan yang meninggal masih terus laki laki
3)      Ibu
4)      Ibu dari bapa
5)      Ibu dari ibu terus  ke atas pihak ibu sebelum berselannnng laki-laki
6)      Saudara perempuan seibu sebapa
7)      Saudara perempua sebapa
8)      Saudara perempuan sebiu
9)      Isteri
10)  Perempuan yang memerdekakan mayat
Jika orang tersebut di atas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari mereka hanya 5 orang saja, yaitu: isteri, anak perempuan, anak peempuan dari anak laki-laki, ibu, saudara perempuan seibu sebapa.
  1. Cara pembagian harta waris antara dua orang bersaudara (laki dan perempuan) hendaklah tiap laki-laki mendapat dua kali bagian dari perempuan sekiranya dari 25 orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan semuanya ada maka, yang pasti mendapat hanya 1/3 KPK dari penyebut 3 dan 6 adalah 6. pembagian antara keduanya yaitu:
1 x 1/6 = 1/6 untuk ibu.
1 x 2/6 = 2/6 untuk istri.
  1. Ahli waris terdiri dari atas Ibu, istri,  dan anak laki-laki. maka ibu mendapat 1/6, istri 1/8, dan anak laki-laki mengambil semua ashobah. kelipatan persekutuan terkecil dari kedua ketentuan itu (6 dan 8) adalah 24. cara pembagian diantara mereka adalah:
1 x 4/24 = 4/24 untuk ibu
1 x 3/24 = 3/24 untuk istri
1 – (4/24 + 3/24) = 17/24 untuk anak laki-laki.

  1. Ahli waris hanya terdiri atas ibu dan istri, maka, ibu mendapat 1/3, dan istri mendapat ¼, KPK dari penyebut 3 dan4 adalah 12. Cara melakukan pembagian antara keduanya adalah:
1 x 4/12 = 4/12 untuk ibu.
1 x 3/12 = untuk istri
1 – (4/12 + 3/12) = 5/12 adalah sisa yang harus diberikan kepada yang berhak dengan jalan lain.

‘AUL
‘Aul artinya jumlah beberapa ketentuan lebuh banyak dari pada satu bilangan, atau juga berarti jumlah pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari pada KPK  dari npenyebutnya. Umpamanya ahli waris adalah suami dan dua saudara perempuan seibu sebapa, maka suami mendapat ketentuan ½, dua saudara perempuan mendapat 2/3, sedangkan KPK dari 2 dan 3 adalah 6. Kita jadikan 3/6 untuk suami dan 4/6 untuk kedua saudara perempuan, jadi jumlah kedua pembilangnya adalah 7, sedangkan penyebut keduanya adalah 6. disini nyata bahwa pembilang lebih banyak dari pada penyebut. apabila terdapat masalah seperti ini, hendaklah harta kita bagi tujuh bagian: tiga bagian untuk suami dan empat bagian untuk kedua saudara perempuan.
E.     Furudhul muqaddrah ( ketentuan kadar bagian masing-masing)
Furudul muqaddarah artinya bagian-bagian ahli waris yang ditetapkan (ditentukan) oleh al-qur’an dan hadits nsbi saw. Bagian-bagian ialah:
1)      1/2
2)      1/4
3)      1/8
4)      1/6
5)      1/3
6)      2/3
Disamping furudhul muqaddarh di atas terdapat juga satu macam furudh hasil ijtihad para ulama yaitu sepertiga sisa harta peninggalan.
F.     Hak-hak atau bagian ahli waris
1.      Ahli waris yang mendapatkan bagian ½
Ahli waris yang berhak menerima bagian ½ terdiri atas 5 orang, yaitu seorang laki-laki dan empat orang perempuan.
*      Suami
Ia akan mendapatkan bagian ½ dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Tidak ada anak laki-laki atau anak laki-laki isterinya yang meninggal, baik dari hasil perkawinan dengannya, maupun dengan laki-laki lain.  hal ini berdasarkan firman Allah swt
ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد         النساء
*      Anak perempuan
  ia mendapat bagian ½ dengan syarat:
1.       tidak ada saudara laki-laki yang berhak mewarisi, yaitu anak laki-lakinya orang yang meninggal
2.      tidak lebih dari seorang perempuan
             Ketentuan ini berdasar firman Allah
وان كانت واحدة فلها النصف           النساء
Akan tetapi perempuan tidak mewarisi setengah jika ada anak laki-laki yang mendapat bagian asabah. Hal ini karena jika ia memperoleh bagian 1/2 bagiannya itu akan sama dengan bagian anak laki-laki, bahkan satu saat bisa melebihinya, sedangkan hal itu tidak diperkenankan   oleh syariat islam
*      Anak perempuannya anak laki-laki  
Ia mendapat bagian setengah dengan syarat
1.      Tidak bersama  saudara laki-laki yang berhak asabah, yaitu anak laki laki dari anak laki-laki
2.      Ia hanya seorang diri
3.      Tidak ada anak perempuan atau anak laki-laki
Alasan yang mendasari bahwa anak perempuannya anak laki-laki  memperoleh bagian ½ adalah kedudukannya dapat disamakan dengan anak perempuan, sedangkan anak perempuan dapat memperoleh  bagian ½, jika tidak ada anak laki-laki.
Dalam firman Allah disebutkan
يوصيكم الله في اولادكم   النساء
Kataا ولاد   mengandung pengertian anak-anak sendiri dan anaknya   anak laki-laki. Hal ini didasarkan atas ijma’ para ulama.
*      Saudara perempuan kandung(seibu sebapa)
Ia mendapatkan bagian ½ dengan syarat:
1.      Tidak saudara laki-laki kandung yang membuatnya menjadi  asabah
2.      Ia seorang diri
3.      Orang yang meninggal tidak mempunyai ushul dan keturunan. Ushul adalah ayah atau kakek, sedangkan keturunan  adalah anak, baik perempuan maupun laki-laki
Firman Allah:
يستفتونك قل الله يفتيكم في الكلالة ان مرؤ هلك ليس له ولد وله اخت فله نصف ما ترك
*      Saudara perempuan seayah
Ia akan mendapat bagian ½ dengan syarat
1.      Tidak bersama  saudara laki-laki yang mendaptkan asabah, yaitu saudara  saudara laki-laki seayah
2.      Ia seorang diri
3.      Orang yang meninggal  tiodak mempunyai ushul dan keturunan
4.      Tidak ada perempuan saudara kandung
Ketentuan ini berdasarkan ijma’ ulam dan firman Allahوله اخت فلها  نصف ما ترك       النساء
Kata اخت mengandung arti saudara perempuan sekandung dan seayah saja. Mengenai saudara perempuan seibu, ia tidak selamanya mendapatkan ½, tetapi bisa juga mendapat bagian 1/6 dengan syarat seperti tersebut diatas.
2.      Ahliwaris yang mendapatkan bagian  ¼
Ahli waris yang mempunyai hak menerima bagian ¼ terdiri atas dua, yaitu:
*      Suami
Ia akan mendapat bagian seperempat jika isterinya yang meninggal mempunyai anak atau anaknya anak laki-laki, baik dari hasil pekawinannya dengan dia atau dengan suami lain
Dasarnya dalah firman Allah swt
فان كا ن لهن ولد فلكم الربع مما تركن        النساء
*      Istri
Ia akan mendapatkan bagian seperempat bila suaminya tidak mempunyai anak atau anaknya anak (cucu) terus kebawah, baik dari isterinya itu atau isteri lain
Dasarnya ialah firman Allah
ولهن الرب مما تركتم ان لم يكن لكم ولد    النساء
Patut diperhatikan bahwa bagi isteri, baik seorang atau lebih tetap merupakan satu kesatuan. Jadi meskipun jumlahnya banyak bagiannya tetap tidak berubah, mengingat firman Allah diatas menggunakan bentuk jama’
3.      Ahliwaris yang mendapatkan bagian 1/8
*      Seorang isteri  atau lebih dengan syarat bila  orang yang meninggal dunia  mempunyai anak laki-laki atau anaknya anak laki-laki, baik diperoleh dari perkawinannya dengan isteri atau dari isteri lain
Firman Allah
وان كان لكم ولد فلهن اربع الثمن مما تركتممن بعد وصية توصون بها او دين          النساء
4.      Ahliwaris yang mendapatkan bagian  1/3
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian sepertiga terdiri atas dua orang, yaitu:
*      Ibu , dengan syarat:
1.       Orang yang  meninggal tidak mempunyai anak  atau cucu dari anak laki-laki
2.      Orang yang meninggal tidak mempunyai beberapa saudara laki-laki atau perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu yang dapat mewarisi sehingga menjadikannya terhijab. firman Allah swt
فان لم يكن له ولد وورثه ابواه فلامه الثلث               النساء
*      beberapa orang saudara laki-laki atau perempuan seibu, dengan syarat:
1.       tidak ada ushul atu furu’
2.      Jumlah mereka dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan semua, atau satu laki-laki satu perempuan.  Friman allah
وان كان رجل يورث كلا لة  اوامرءة وله اخ او اخت فلكل واحد منهما السدس فان كانو ا كثر من ذلك فهم شركاء ف الثلث
5.      Ahli waris yang mendapatkan bagian  1/6
Bagian 1/6 menjadi hak tujuh orang ahli waris, yaitu:
*      Ayah, jika yang meninggal mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan. Allah swt berfirman
ولابويه لكل واحد منهما السدس مما ترك ان كا له ولد
*      Kakek sahih (ayahnya ayah), jika orang yang meninggal mempunyai anak atau anaknya anak (cucu dari anak laki-laki), dan tidak mempunyai ayah.
Kakek dapat mengganti kedudukan ayah, apabila tidak mewarisi bersama ayahnya, kecuali dalam tiga masalah berikut:
1.      Beberapa saudara laki-laki kandung atau seayah, tidak mewarisi bersama ayah, tetapi bersama kakek.
2.      Dalam masalah gharawain yang pertama, yaitu ketika seorang istri meninggal dunia dengan ahli warisnya adalah suami, ibu, ayah. Dalam hal ini, ibu mendapatkan bagian 1/3 sisa. Akan tetapi, kalau kedudukan ayah ditempati oleh, maka bagian ibu tetap 1/3 dari seluruh harta peninggalan.
3.      Dalam masalah gharawain yang kedua, yaitu apabila suami meninggal dengan ahli waris: istri, ibu, dan ayah. Dalam hal ini ibu mendapat bagian 1/3 sisa. Akan tetapi, kalau kedudukan ayat ditempati kakek, ibu mendapat bagian dari seluruh harta peninggalan.
*      Ibu, akan mendapat bagian seperenam apabila:
1.      Orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki.
2.      Orang yang meninggal mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik lelaki maupun perempuan, baik sekandung, seayah, atau seibu.
*   Anak perempuan dari anak laki-laki, baik seorang atau lebih. Ia mendapat bagian 1/6. Apabila orang yang meninggal mempunyai seorang anak perempuan saja, ia mendapat ½ bagian harta peninggalan, sedangkan anak perempuannya anak laki-laki mandapat 1/6 untuk melengkapi bagiannya 2/3 karena bagian beberapa anak perempuan adalah 2/3. Jadi apabila anak perempuan telah mengambil ½ sisanya yang 1/6 diambil oleh anak perempuan dari anak laki-laki.
*   Saudara perempuan seayah, baik seorang atau lebih.   
     Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam jika orang yang meninggal mempunyai saudara perempuan sekandung. Ketentuan ini serupa dengan ketentuan bagi anak perempuan dari anak laki-laki ketika bersama dengan anak perempuan. Oleh karena itu, apabila orang yang meninggal itu meninggalkan saudara perempuan kandung dan saudara seayah lebih dari satu orang, saudara perempuan seayah (baik seorang atau lebih) akan mendapatkan seperenam bagian, untuk menyempurnakan 2/3(dua pertiga), karena bagian 2/3 ini msaudara perempuan. Jadi apabila audara perempuan sekandung mengambil ½ bagian dari harta peninggalan sebagai kerabat terdekat, tidak ada sisa, kecuali1/6 yang akan diambil saudara perempuan seayah (baik satu orang atau lebih)
*      Saudara laki-laki atau perempuan seibu
Saudara laki-laki atau perempuan akan mendapatklan bagian 1/6 apabila sendirian. Hal ini berdasarkan firman Allah
وان كان رجل يورث كلا لة  اوامرءة وله اخ او اخت فلكل واحد منهما السدس
Bagi mereka, dalam mewarisi dan mewariskan disyaratkan tidak ada ushul dan anak secara mutlak
*      Nenek sahihah(ibunya ibu atau ibunya ayah)
Ia mendapatkan bagian 1/6 apabila tidak ada ibu, baik seorang atau lebih, seperti ibunya ibu atau ibunya bapak, dan seterusnya. Jika lebih dari seorang maka bagian yang berhak diterima itu dibagikan sama rata kepada mereka. Ketentuan 1/6 bagian kepada nenek ini ditetapkan berdasarkan sunnah dan ijma’ sahabat



G.    Ahli waris asabah
Asabah menurut bahasa berarti semua kerabat seorang laki-laki yang berasal dari ayah. Mereka disebut asabah karena mereka merupakan orang –orang yang menghalangi atau melindungi. Menurut istilah ulama faradiyyun, asabah adalah ahli waris yang tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah disepakati oleh seluruh fuqaha.
Jadi asabah adalah semua ahli waris yang tidak mempunyai bagian tetap dan tertentu, baik yang diatur dalam al-quran maupun hadits.
Mereka terdiri atas:
1.      Anak laki-laki
2.      Anak  laki-lakinya anak laki-laki
3.      Saudara  sekandung
4.      Saudara seayah
5.      Saudaranya ayah sekandung
Kekerabatan diantara mereka kuat, karena mereka diturunkan melalui garis ayah bukan dari garis ibu, sebaliknya keturunan yang berasal dari ibu melemahkan kerabat, seperti saudara laki-laki seibu. Dari pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan ashabah setiap orang yang mengambil bagian semua harta apabila ia sendirian dan mengambil sisa sesudah ashabul furudh mengambil bagiannya.

H.    Macam –macam ashabah 3
Ashabah nasabiyah pokok dalam kewarisan terdiri atas ashabah binafsih, ashabah bil ghoiri, dan ashabah ma’al ghoiri
1.      Ashabah binafsih
Adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan orang yang meninggal tanpa diselingi oleh orang perempuan. Ketentuan ini mengandung  dua pengertian, yaitu antara mereka dengan orang yang meninggal tidak ada perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah orang yang meninggal, serta terdapat perantara, tetapi bukan orang  perempuan , seperti cucu laki-laki dari anak laki, ayahnya ayah, saudara sekandung dan saudara seayah. Jika orang yang menjadi perantara itu prempuan, seperti cucu laki-laki dari anak perampuan, ayahnya ibu, dan saudara seibu, mereka bukan bukan ashabah binafsih.
a.       Ketentuan hukum ashabah binafsih
Ashabah binafsih mempunyai empat jalur yang perolehan warisannya harus dilakukan secara berurutan. Apabila ada salahseorang diantar ahli waris yang memperoleh ashababh sendirian, tidak ada ahli waris lainnya, aia memperoleh seluruh harta peningalan atau mendapat sisa harta setelah diambil oleh ahli waris yang mempunyai bagian ttap.  Apabila jumlah ahli waris ashabah binafsih itu cukup banyak, harus ditarjih dicari mana yang lebih kuat hubungan kekerabatannya, yang uraiannya adalah sebagai berikut:
1.      Tarjih bil jihah
Apabila ashabah binafsih jumlahnya cukup banyak, ashabah yang menduduki jalur urutan pertama harus didahulukan daripada jalur  kedua dan seterusnya. Dengan demikian, jalur anak harus didahulukan dari jalur lainnya. Ini berarti anak laki-laki orang yang meninggal mengambil seluruh harta atau sisa setelah diambil bagian oleh ashabul furudh. Jika tidak anak laki-laki, bagian itu diperoleh anak-anaknya terus kebawah karena menduduki kedudukan anak (bapaknya). Apabila seseorang meninggal dengan ahli waris anak laki-laki, ayah, dan saudara laki-laki kandung, ashabah disini adalah anak laki-laki karena jihat bunuwwah harus didahulukan daripada yang lainnya. Ayah sebagai ashabul furudh dan saudara laki-laki kandung tidak memperoleh bagian apa-apa karena derajatnya jauh
2.      Tarjih biddarajah
Apabila ashabah binafsih terdiri atas beberapa orang dan jalurnya sama, cara pembagiannya adalah menurut tingkatannya dengan mendahulukan mereka yang lebih dekat kedudukannya dengan orang yang meninggal. Misalnya: seorang meniggal dengan ahli warisnya adalah anak laki-laki dan cucu dari anak laki-laki, maka yang berhak mendapat warisan adalah anak laki-laki- sebab kedudukannya lebih dekat dengan orang yang meninggal dari pada cucu dari anak laki-laki.
3.      Tarjih biquwwatil qarabah
Apabila ashabah binafsih berada dalam satu jihat dan derajat yang sama, harus ditarjih melalui kekerabtannya,  artinya harus didahulukan mereka yang kuat derajatnya. Oleh karena itu, ashabah yang memiiki kekerabatannya rangkap, seperti saudara kandung didahulukan dari pada ashabah yang hanya memiliki kekerabatan tunggal, seperti saudara tunggal ayah. Demikian juga dengan anak laki-laki kandung hendaklah didahulukan dari pada anak laki-laki saudara seayah dan anak laki-laki paman sekandung harus didahulukan dari pada anak laki-laki paman saya.  Jadi apabila ada anak laki-lalki saudara laki-laki sekandung bersama anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah, seluruh harta peninggalan diberikan kepada anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
2.      asabah bil ghair
Asabah bil ghair adalah setiap orang perempuan memerlukan orang lain untuk menjadikan asabah dan bersama-sama menerima usubah. Mereka terdiri dari atas empat orang wanita yang fard. Mereka mendapat ½ bila tunggal dan 2/3 bila lebih dari seorang. Keempat orang wanita tersebut adalah:
1.      anak perempuan kandung menjadi asabah bersama bersama anak laki-laki kandung
2.      Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan) menjadi asabah bersama anak laki-lakinya anak laki-laki, baik tingkatannya sama atau lebih rendah (urutan ke bawah), jika tidak ada ahli waris lainnya.
3.      Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama saudara laki-laki sekandung.
4.      Saudara perempuan seayah menjadi menjadi ashabah bersama saudara laki-laki seayah.
Apabila salah seorang dari keempat perempuan tersebut bersama salah seorang muasib binafsi yang derajat dan kekuatannya sama, ia menjadi ashabul bil ghairi (bersama orang lain). Ia bersama-sama dengan muasib-nya menerima sisa harat peninggalan dari ashabul furud atau menerima seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashabul furud, dengan ketentuan orang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian orang perempuan.
a)      Syarat-syarat asabah bil ghair
1.      Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furud (mempunyai bagian tetap). Orang perempuan yang tidak tergolong ashabul furud walaupun ia mewarisi bersama dengan muasib-nya, tidak menjadi asabah bil ghair.
2.      Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud) dengan orang yang meng-asabah-kan (muasibnya) memiliki tingkatan (dalam jihat) yang sama.
3.      Orang yang meng-asabah-kan (muasib) harus sama derajatnya dengan perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud).
4.      Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan shabul furud dengan muasib-nya.

3.      Asabah ma’al ghair
Asabah ma’al ghair ialah setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi asabah, tetapi orang lain tersebut tidak berserikat dalam menerima usubah. Orang yang menjadikan asabah tetap menerima bagian sesuai dengan fard-nya sendiri.
Asabah ma’al ghair hanya terdiri atas saudara hanya terdiri atas saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah.kedua orang tersebut dapat menjadi asabah ma’al ghair, dengan syarat berikut:
1.      Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak atau cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
2.      Tidak berdampingan dengan saudaranya yang menjadi muasib-nya.

I. Wasiat
Wasiat ialah pesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. hukim wasiat adalah sunat. sesudah Alha menerangkan beberapa ketentuan dalam pembagian harta pusaka, diterangkan pula bahwa pembagian harta tersebut hendaklah dijalankan.
Firman Allah:
من بعد وصية يوصى بها. (النساء)
“sesudah dipenuhi apa yang ia buat”. (An-nisa)

Rukun Wasiat
1. Ada orang yang berwasiat, hendaklah bersifat mukallaf dan berhak berbuat kebaikan serta dengan kehendaknya sendiri.
2. Ada yang menerima wasiat (mausilah), keadaan hendaklah bukan dengan jalan maksiat, baik pada kenaslahatan umum, seperti pembangunan mesjid, sekolah atau yang lainnya. tetapi kalau kepada yang tertentu hendaklah ditambah syarat yang bersifat seseorang yang boleh memiliki.
3. Sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang kepada orang lain.
4. Lafadz (kalimat)wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
sebanyak-banyak wasiat adalah sepertiga harta, tidak boleh lebih kecuali bila diijinkan oleh semua ahli waris sesudah orang itu meninggal dunia.


BAB IV
PENYELESAIAN WARISAN SECARA AUL & RADD

A.    MASALAH ‘AUL
1.      Pengertian
Pengertian aul menurut bahasa ada beberapa macam, di anataranya adalah cenderung kepada perbuataan aniaya dan menyimpang. Arti ini ditunjukkan dalam firman Allah SWT.

Kadang-kadang, aul juga berarti naik. Misalnya, air sedang, atau perkara naik ke pengadilan. Dapat pula berarti bertambah, seperti dalam kalimat timbangan bertambah. Seperti dalam kalimat timbangan bertambah.

2.      Pokok-pokok masalah yang dapat berkembang dan tidak
Seperti kita ketahui bahwa pokok masalah dalam ilmu waris, yaitu ada tujuh macam. Tiga macam diantaranya dapat berkembang (di-aul-kan, yaitu 6, 12, dan 24, sedangkan empat tidak berkembang (tidak dapat di-aul-kan), yaitu 2, 3, 4, dan 8.
 Asal masalah yang dapat di-aul-kan, yaitu 6, dapat di-aul-kan sampai 1, baik ganjil maupun genap. Yaitu dalam masalah yang dikenal dengan masalah mimbariyah.

B.     MASALAH RADD
Mnurut bahas rad adalah i’adah, mengembalikan. Menurut istilah radd ialah pengambilan bagian yang tersisa dari dzawil furudz nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masinf bila tidak ada lagi oang lain yang berhak menerimanya.
Rukun-rukun radd
Radd terjadi bila memenuhi tiga rukun yaitu sebagai berikut
1.      Adanya shabul furudh
2.      Adanya  kelebihan harta peninggalan  setelah  dibagikan kepada masing-masing ahli waris
3.      Tidak ada ahli waris ashabah
Semua ahli waris yang mempunyai bagian tertentu kecuali suami isteri, berhak menerima kembali sisa harta yang masih ada berhak menerima radd.
Contoh penyelesaian waris:
1.      Muqasamah lebih menguntungkan dari pada 1/6 sacara fard.
Seseorang meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, kakek, dan saudara kandung. Harta peninggalannya sejumlah Rp 24.000.000,- bagian masing-masing adalah : jika dengan jalan muqasamah:

Ahli     Fard   asal masalahnya:                   Penerimaannya
Waris              6, sahamnya
            Suami     ½      ½ x 2 = 1                                 1x Rp.24.000.000 : 2
                                                                               Rp. 12.000.000        
                                                                        Sisa = 1  Rp. 12.000.000
Kakek muqasamah                              = 1       1x Rp.24.000.000 : 2
                                                                                    Rp. 6.000.000
Sdr kandung muqasamah                                = 1       1x Rp.24.000.000 : 2
                                                                                    Rp. 6.000.000
Jika dengan jalan 1/6 farad:
Ahli waris
Fard
Asal masalahnya : 6, sahamnya
Penerimaanya
Suami
½
½ x 6 = 3
3x Rp. 24.000.000 : 6

Rp. 12.000.000
Kakek
1/6
1/6 x 6 = 1
1x Rp. 24.000.000 : 6

Rp. 4.000.000
Sdr kandung
ashabah
6 - 4 = 2
2 x Rp. 24.000.000 : 6
Jumlah
Rp. 8.000.000

Dari dua jalan tersebut, penyelesaian secara muqasamah lebih menguntungkan kakek dari pada dengan jalan 1/6 secara fard. Dengan muqasamah, kakek menerima Rp. 6.000.000,-sedangkan dengan jalan fard, ia hanya menerima Rp. 4.000.000


SIMPULAN
Ilmu waris (mawaris) atau lebih dikenal dengan istilah faraid adalah Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak dapat menerima pusaka serta kadar-kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya. seseorang berhak menerima waris karena adanya sebab-sebab hubungan:
1.  Kekeluargaan,
2. Perkawinan
3. Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan (wala’)
4. Hubungan Islam
Dalam hukum Islam tidak semua yang ditinggalkan oleh muwaris berhak menerima warisan orang-orang yang tidak berhak menerima warisan adalah sebagai berikut:
-          karena Pebudakan (hamba sahaya)
-          karena Pembunuhan
-          karena Perbedaan  Agama
-          karena Murtad (Orang yang keluar dari agama islam)
Dalam pembagian waris dapat di tempuh melalui aul dan raad ialah pengambilan bagian yang tersisa dari dzawil furudz nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang  lain yang berhak menerimanya.


REFERENSI





M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (PT. Bulan Bintang: Jakarta), hal. 3-5
Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Gaya Media Pratama: Jakarta), hal. 3-4.
Suparman Usman, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Gaya Media Pratama: Jakarta), hal. 4-7
Komite Fakultas Syari’ah Universita Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris (Senayan Abadi Publishing:Jakarta), hal.11-13.
Otje Salman S. dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, (PT Refika Aditama: Bandung), hal. 4.



Tidak ada komentar:

"S A L A M S E J A H T E R A"