ILMU FARAIDH
HUKUM WARIS
LATAR BELAKANG
Agama Islam merupakan agama yang melindungi dan
menjungjung tinggi setiap hak asasi manusia. Diantara pokok ajaran Islam ialah
hifdzul mal (perlindungan harta benda), hifdzun nafs (perlindungan jiwa dan
raga), hifdzu din (perlindungan agama) semua urusan yang menyangkut kepentingan
telah diatur sedemikian rupa guna mempermudah dalam menggapai kepentingan
tersebut. Dalam pembagian harta atau pusaka seringkali berujung pada
ketidaksesuaian pembagian dan berujung pada permasalahan yang tidak kunjung
reda untuk mencegah berbagai permasalahan yang ditimbulkan dalam pembagian
pusaka ini dalam agama Islam sudah terdapat tata cara pembagian pusaka yang
rasional yang insya Allah tidak akan menimbulkan permasalahan. dalam islam
aturan atau tata cara pembagian warisan ini disebut faraidh.
Tujuan
Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk mengetahui
dan mengkaji lebih dalam mengenai illmu waris menurut syariat Islam Mengingat
banyaknya pembagian harta waris berdasarkan tradisi “lebih tua mendapat lebih
banyak”. Selain itu makalah ini kami susun untuk meningkatkan intelektualitas
dan khazanah keilmuan penyusun.
Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan mawaris
2. Hal apa saja yang menyebabkan seseorang mendapatkan
waris
3. Bagaimanakah ketentuan waris menurut syariat islam
4. Apa yang dimaksud dengan wasiat?
5. Bagaimanakah aplikasi nyata waris
BAB I
PENDAHULUAN
Proses
perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua tahap itu
membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya, terutama ,dengan orang
yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab maupun dalam arti lingkungan.
Kelahiran membawa
akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan orang lain serta timbulnya
hubungan hukum antara dia dengan orang tua, kerabat dan masyarakat
lingkungannya.
Demikian juga
dengan kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri, keluarga,
masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu, kematian tersebut menimbulkan
kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yang berhubungan dengan
pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum lain secara
otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut hak para keluarganya
(ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.
Adanya kematian
seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu hukum yang menyangkut bagaimana
cara penyelesaian harta peninggalan kepada keluarganya yang dikenal dengan nama
Hukum Waris. Dalam syari’at Islam ilmu tersebut dikenal dengan nama Ilmu
Mawaris, Fiqih Mawaris, atau Faraidh.
Dalam hukum
waris tersebut ditentukanlah siapa-siapa yang menjadi ahli waris, siapa-siapa
yang berhak mendapatkan bagian harta warisan tersebut, berapa bagian mereka
masing-masing bagaimana ketentuan pembagiannya serta diatur pula berbagai hal
yang berhubungan dengan soal pembagian harta warisan.
Namun dalam
makalah ini kami hanya menjelaskan pengertian, sejarah dan hukum mempelajari
dan mengajarkan ilmu mawaris. Adapun penjelasan yang berhubungan dengan ilmu
mawaris lainnya akan dijelaskan oleh makalah selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Singkat Tentang Pewarisan
- I.
Pewarisan Pada Masa Pra Islam (Zaman Jahiliyah)
Orang-orang Arab
Jahiliyah adalah salah satu bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang.
Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung kepada hasil rampasan perang dari
bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukkan. Di samping itu juga mereka
berdagang rempah-rempah.
Dalam bidang
pembagian harta warisan mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Menurut ketentuan yang telah berlaku,
bahwa anak yang belum dewasa dan anak perempuan atau kaum perempuan tidak
berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia.
Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu pun
dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada
anaknya.
Adapun yang menjadi sebab pusaka
mempusakai pada masa Jahiliyyah ada tiga macam:
- Adanya
pertalian kerabat (القرية)
Pertalian
kekerabatan belum dianggap memadai untuk mendapat warisan dan yang paling
penting adalah kuat jasmani untuk membela dan mempertahankan keluarga dan
kabilah (suku) dari serangan pihak lain. Dengan demikian, para ahli waris pada
zaman Jahiliyyah dari golongan kerabat terdiri dari:
a) Anak laki-laki
b) Sudara laki-laki
c) Paman
d) Anak paman
- Adanya
janji Prasetia (المخالفة)
Orang-orang yang
mempunyai ikatan janji prasetia dengan si mati berhak mendapatkan seperempat
harta peninggalannya. Janji prasetia tersebut baru terjadi dan mempunyai
kekuatan hukum, apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab-Qabul
dan janji prasetianya. Ucapan (sumpah) yang bisa digunakan, antara lain:
دَمِّىْ دَمُّكَ
وَهَدْمِىْ هَدْمُكَ تَرِثُنِىْ وَأَرِثُكَ وَتُطْلَبُ بِى وَأُطْلَبُ بِكَ
“Darahku darahmu,
pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi
hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut
darahku karena tindakanku terhadapmu”.
- Adanya
pengangkatana anak (تبنّى)
Pengangkatan
anak (adopsi) merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab
Jahiliyah, walaupun anak tersebut jelas mempunyai orang tua sendiri. Anak yang
diangkat mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya
nasab dan warisan.
Orang yang telah
diadopsi (diangkat anak) oleh si mati berhak mendapatkan harta peninggalannya
seperti anak keturunan si mati. Dalam segala hal, ia dianggap serta
diperlakukan sebagai anak kandung dan dinasabkan kepada ayah angkatnya, bukan
kepada ayah kandungnya.
Sebagaimana
halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan
janji prasetia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang
sudah dewasa. Sebab, tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia adalah
adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan
mereka. Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya
pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan.
Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan
silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang
mereka miliki.
- II.
Pewarisan Pada Masa Awal Islam
Pada masa awal
islam, kekuatan kaum muslimin masih sangat lemah, lantaran jumlah mereka
sedikit. Untuk menghadapi kaum musyrikin Quraisy yang sangat kuat, Rasulullah
saw. meminta bantuan penduduk di luar kota Mekkah yang sepaham dan simpatik
terhadap perjuangannya dalam memberantas kemusyrikan.
Adapun yang menjadi sebab pusaka
mempusakai pada masa awal Islam ada tiga macam:
a) Adanya pertalian kerabat (القربة)
b) Adanya pengangkatan anak (التبني)
c) Adanya Hijrah (dari Mekkah ke
Madinah) dan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan Anshar (الهجرة والمؤخة)
- III.
Pewarisan Pada Masa Islam Selanjutnya
Setelah aqidah
umat Islam bertambah kuat, dan satu sama lain diantara mereka telah terpupuk
rasa saling mencintai, apabila kecintaan mereka kepada Rasulullah saw. sudah
sangat melekat, perkembangan Islam makin maju, pengikut-pengikut bertambah
banyak, pemerintahan Islam sudah stabil, maka sebab-sebab pewarisan yang hanya
berdasarkan kelaki-lakian yang dewasa dan mengenyampingkan anak-anak dan kaum
perempuan, sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah telah
dibatalkan oleh firman Allah swt.
لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالأَقْرَبُونَ وَلِلنَِسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا
تَرَكَ الْوَلِدَانِ وَالأقْرَبُونَ مِمّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًا
مَفْرُوْضًا (النّساء :٧)
“Bagi orang laki-laki ada hak
bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya. Dan bagi orang wanita
ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”. (Q.S a-Nisa, [4]:7)
Sebab-sebab pewaris yang
berdasarkan janji prasetia juga dibatalkan oleh firman Allah SWT
…وَأُوْلُواالأرْحَامْ
بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِى كِتَابِ الله إنّ اللهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَليْمٌ
(الأنفال : ٧٥)
“… orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya dari pada yang
bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui segala
sesuatu. (Q.S al-Anfal,[8]:75)”.
Sedangkan pewarisan yang
berdasarkan adanya pengangkatan anak (adopsi) dibatalkan oleh firman Allah:
…وَمَا جَعَلَ
أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ
يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ. أُدْعُهُمْ لِأَبَاءِهِمْ هُوَ
أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا أبَاءَهُمْ فَإِخْوَنُكُمْ فِي
الدِّيْنِ وَمَوَلِيْكُمْ …
“… dan dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataan dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia
menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
(memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, maka panggillah mereka
sebagai saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu …” (Q.S al-Ahzab [33]:4-5)
Dari uraian
diatas, dapatlah dipahami bahwa dalam pewarisan Islam yang berhak menerima harta
warisan tidak terbatas kepada kaum laki-laki yang sudah dewasa, melainkan juga
kepada anak-anak dan perempuan. Dan dalam pewarisan Islam tidak dikenal adanya
janji prasetia dan pengangkatan anak (adopsi)
B. Pengertian
Lafadz faraidh
(الفَرَئِض), sebagai jamak dari lafadz faridhah (فريضة), oleh ulama Faradhiyun
diartikan semakna dengan lafadz mafrudhah (مفروضة), yakni bagian yang
telah dipastikan atau ditentukan kadarnya. Adapun lafadz al-Mawarits
(المواريث) merupakan jamak dari lafadz mirats (ميراث). Maksudnya adalah
التِّرْكَةُ الَّتِي
خَلَفَهَا الْمَيِّتُ وَوَزَثَهَا غَيْرُهُ
“Harta peninggalan yang
ditinggalkan oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris)”.
Sedangakan pendapat-pendapat ulama
mengenai definisi ilmu faraidh atau Fiqih Mawaris:
- Muhammad al-Syarbiny mendefinisikan ilmu
Faraidh sebagai berikut:
الفِقْهُ المُتَعَلِّقُ
بِالإِرْثِ وَمَعْرِفَةِ الْحِسَابِ المُوَصِّلُ اِلَى مَعْرِفَةِ ذَالِكَ
وَمَعْرِفَةِ قَدْرِ الْوَجِبِ مِنَ التَّرْكَةِ لِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ
“Ilmu fiqih yang berkaitan
dengan pewarisan, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat menyelesaikan
pewarisan tersebut dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta
peninggalan bagi setiap pemilik hak waris (ahli waris)”.
- Hasbi
Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ
مَنْ يَرِثُ وَمَنْ لاَ يَرِثُ وَمِقْدَارُ كُلِّ وَارِثٍ وَكَيْفِيَةُ
التَّوْزِيْعِ
“Ilmu yang mempelajari tentang
siapa yang mendapatkan warisan dan siapa yang tidak mendapatkannya, kadar-kadar
yang diterima oelh tiap-tiap ahli waris dan cara pembagiannya”.
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid mendefinisikan sebagai
berikut:
العِلْمُ الْمُوَصِّلُ
إِلَى مَعْرِفَةِ قَدْرٍ مَا يَجِبُ بِكُلِّ ذِىْ حَقٍّ مِنَ التِّرْكَةِ
“Ilmu yang membahas
tentang kadar (bagian) dari harta peninggalan bagi setiap orang yang berhak
menerimanya (ahli waris)”.
- Rifa’I
Arief mendefinisikan sebagai berikut:
قَوَاعِدُ وأُصُوْلٌ
تُعْرَفُ بِهَا الْوَرِثَهُ وَالنَّصِيْبُ الْمُقَدَّرُ لَهُمْ وَطَرِيْقَهُ
تَقْسِبْمِ التَّرْكَةِ لِمُسْتَحِقِّهَا
“Kaidah-kaidah dan
pokok yang membahas tentang para ahli waris, bagian-bagian yang telah
ditentukan bagi mereka (ahli waris) dan cara membagikan harta
peninggalan kepada orang (ahli waris) yang berhak menerimanya”.
Dari beberapa
definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ilmu faraidh atau fiqih Mawaris
adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan harta peninggalan dari
seseorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai harta
yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian
harta peninggalan tersebut.
C. Istilah-istilah yang berhubungan dengan fiqh
mawarits
1)
القَطْع (al-qath’) yang berarti ketetapan atau kepastian. Misalnya dalam
ungkapan فَرَضْتُ لِفُلانٍ كَذَا مِنَ المَال أي قَطَعْتُ Aku telah
menetapkan dengan pasti bagian harta untuk si Fulan’. Dalam firman Allah SWT
disebutkan نَصِيْبًا مَفْرُوضًا …. “sebagai suatu bagian yang telah
ditetapkan.” (An-Nisaa [4]:7).
2)
التَقْدِيرْ (at-taqdir) yang berarti suatu ketentuan, seperti firman
Allah SWT,…….فريضة فَنِصْفُ ما فَرَضْتُم “….karena itu bayarlah separuh dari
jumlah yang telah kau tentukan itu . . .”(al-Baqarah [2]:237).
3)
الإنزال (al-inzal) yang berarti menurunkan, seperti firman Allah,
“sesungguhnya, yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hokum-hukum) Al-Qur’an,
benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali….”(al-qashash[28] 85)
4)
التبيين (at-tabyin) yang berarti penjelasan, seperti firman Allah.
“Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari
sumpahmu….”(at-tamrin [66]: 2)
5)
الإحلال(al-ihlal) yang berarti mengalahkan, seperti firman-Nya, “Tidak
suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.”(al-Ahzab[33]:38)
6)
العطاء(al-Atha) yang berarti pemberian, seperti dalam pepatah
bangsa Arab yang berbunyi, لا أصَبْتُ مِنْهُ فَرْضًا وَلاَ قَرْضًا أَى
عَطَاءً“Aku tidak mendapatkan pemberian atau pun pinjaman darinya’. Kata fardh
dalam ungkapan tersebut berarti pemberian
D. Hukum Mempelajari dan Mengajarkan Ilmu Faraidh
Dalam ayat-ayat
Mawaris Allah menjelaskan bagian setiap ahli waris yang berhak mendapatkan
warisan, menunjukkan bagian warisan dan syarat-syaratnya menjelaskan
keadaan-keadaan dimana manusia mendapat warisan dan dimana ia tidak
memperolehnya, kapan ia mendapat warisan dengan penetapan atau menjadi ashobah
(menunggu sisa atau mendapat seluruhnya) atau dengan kedua-duanya sekaligus dan
kapan ia terhalang untuk mendapatkan warisan sebagian dan seluruhnya.
Begitu besar
derajat Ilmu Faraidh bagi umat Islam sehingga oleh sebagian besar ulama
dikatakan sebagai separoh Ilmu. Hal ini didasarkan kepada hadis Rasulullah saw
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i dan Daru Quthni:
تَعَلَّمُوا القُرْانَ
وَعَلَّمُوْهُ النَّاسَ, وَتَعَلَّمُوْا الفَرَائِضَ وَعَلَّمُوْهَا النَّاسَ,
فَإنِّى امْرُؤٌ مَقْبُوْضٌ وَالعِلْمُ مَرْفُوْعٌ وَيُوشِكُ أَنْ يَخْتَلِفَ
اثْنَانِ فِى الفَرِيْضَةِ فَلاَ يَجِدَانِ أَحَدًا يُخْبِرُهَا
“Pelajarilah Al-Qur’an dan
ajarkanlah kepada orang-orang, pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah ilmu itu
kepada orang-orang, karena aku adalah manusia yang akan direnggut (wafat),
sesungguhnya ilmu itu akan dicabut dan akan timbul fitnah hingga kelak ada dua
orang berselisihan mengenai pembagian warisan, namun tidak ada orang yang
memutuskan perkara mereka”.
Hadits tersebut
menunjukkan bahwa Rasulullah saw, memerintahkan kepada umat Islam untuk
mempelajari dan mengajarkan ilmu faraidh, agar tidak terjadi
perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta peninggalan, disebabkan
ketiadaan ulama faraidh. Perintah tersebut mengandung perintah wajib. Kewajiban
mempelajari dan mengajarkan ilmu itu gugur apabila ada sebagian orang yang
telah melaksanakannya. Jika tidak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka seluruh
umat Islam menanggung dosa, disebabkan melalaikan suatu kewajiban.
Dalam buku lain,
kami menemukan bahwa dengan adanya kewajiban untuk menjalankan syariat Islam
dalam perkara waris maka wajib (wajib kifayah) pula hukum belajar dan
mengajarkan ilmu faraidh
BAB
III
BEBERAPA
HAK YANG BERSANGKUTAN DENGAN HARTA PUSAKA
Sebelum kita teruskan urain
tentang warisan kepada ahli waris, lebih dahulu akan diterangkan beberapa hak
yang wajib didahulukan dari pembagian harta pusaka kepada ahli waris.
1. Yang terutama adalah hak yang bersangkutan dengan
harta itu, seperti zakat dan sewanya. hak ini hendaklah diambil terlebih dahulu
dari jumlah harta sebelum dibagi-bagi kepada ahli waris.
2. Biaya untuk mengurus mayat, sperti harga kafan, upah
menggali tanah kubur, dan sebagainya. sesudah hak yang pertama tadi
diselesaikan, sisanya barulah dipergunakan untuk biaya mengurus mayat.
3. Utang. Kalau si mayat meninggalkan utang, utang itu
hendaklah dibayar dari harta peninggalannya sebelum dibagi untuk ahli warisnya.
4. Wasiat. kalau si mayat mempunyai wasiat yang banyaknya
tidak lebih dari sepertiga harta peninggalannya, wasiat itu hendaklah dibayar
dari jumlah harta peningglannya sebelum dibagi-bagi.
Firman Allah:
من بعدوصية يوصي بها اودين . (النساء: 11)
5. Sesudah dibatar semua hak yang tersebut di atas,
barulah harta peningglalan si mayat itu dibagikan kepada ahli waris menurut
pembagian yang telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab- Nya yang suci.
A. Pengertian waris
Kata waris bersal dari
bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah mawaris, yang berarti harta
peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Ilmu
yang mempelajari warisan disebut mawaris atau lebih dikenal dengan istilah
faraid. Kata faraid merupakan bentuk jamak dari faridhah, yang diartikan oleh
para ulama faradhiun semakna dengan kata mafrudhah, yaitu bagian yang telah
ditentukan kadarnya. Sedangkan menurut hasbi as-shidiq ialah
علم يعرف به من يرث ومقدار كل وارث وكيفية التوزيع
“Ilmu untuk
mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang yang tidak dapat
menerima pusaka serta kadar-kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris dan
cara pembagiannya. (Dian 2006:14)
B. Sebab-sebab kewarisan
H. Sulaiman rasyid
dalam bukunya fiqih Islam menyatakan sebab-sebab waris mewarisi ada empat
sebab:
1. Kekeluargaan,
(keterangan firman Allah Surat annisa: 7)
Macam-macam garis kekerabatan dan penggolongannya
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab yang
antara diwarisi dengan yang mewarisi kerabat dapat digolongkan menjadi tiga:
1. Furu’
yaitu anak turun (cabang dari si pewaris)
2. Ushul
yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si pewaris
3. Khawasi
yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si pewaris melalui garis menyamping
seperti saudara paman bibi dan anak turunannya tanpa membeda-bedakan antara
anak lai-laki dan perempuan (Faturrahman ilmu waris) dikutip langsung dalam
bukku Fiqih Mawaris (Dian 2006:18)
Ditinjau dari segi penerimaan saham pembagiannya
mereka digolongkan menjadi empat
1. Golongan yang
mendapat bagian tertentu jumlahnya yang disebut ashabul furudh terdiri atas
sepuluh orang
2. Golongan
kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tetapi mendapatkan sisa ashabul furudh
atau mendapat seluruh peninggalan bila tidak ada adhabul furudh sama sekali
golongan ini disebut golongan ashobah nasabiah
3. Golongan
kerabat yang mendapatkan dua macam bagian yaitu faradh dan ashabah dan nasabiah
secara bersama-sama dalam beberapa keadaan, terdiri atas:
a. Ayah, bila ia mewarisi bersama dengan far’ul waris
perempuan.
b. Kakek shahih dalam keadaan yang sama dengan di atas
dan tidak ada ayah
4. Golongan
kerabat yang tidak termasuk ashabul furud dan ashabah, yang disebut dengan
dzawil arham.
2. Perkawinan
Perkawinan yang
dapat mewarisi memerlukan dua syarat, yaitu:
a. Akad nikah itu sah menurut syariat Islam, baik
keduanya telah berkumpul maupun belum. Ketentuan ini berdasarkan:
1. Keumuman
ayat-ayat mawaris, dan
2. Tindakan
Rasulullah S.A.W bahwa beliau telah memutuskan kewarisan barwa’ binti wasyiq
yang suaminya telah meninggal dunia sebelum mengumpulinya dan sebelum
menetapkan maskawinnya.
b. Ikatan perkawinan antara suami-istri itu masih utuh
atau masih dianggap masih utuh
3. Dengan jalan
memerdekakan dari perbudakan (wala’)
Wala’ adalah
pewarisan karena jasa seseorang yang telah memerdekakan seorang hamba kemudian
budak itu menjadi kaya. Jika orang yang dimerdekakan itu meninggal dunia, orang
yang memerdekakannya berhak mendapatkan warisan.
Wala’yang dapat dikategorikan kerabat secara hukum,
disebut juga dengan istilah wala’ul itqi, dan atau wala’un nikmah. Hal ini
karena pemberian kenikmatan kepada seseorang yang telah dibebaskan dari
setatusnya sebagai hamba sahaya.
Sabda Rasulullah S.A.W.:
انما الولاء
لمن اعتق. متفق عليه
“Sesungguhnya hak untuk orang yang memerdekakan”
sepakat ahli hadis.
Sabda rasulullah S.A.W.:
الولاء لحمة
كلحمة النسب لا يباع ولا يها ب رواه ابن خزيمة وابن حبان والحاكم
“Hubungan orang yang
memerdekakan hamba dengan hamba itu, seperti hubungan turunan dengan turunan
tidak dijual dan tidak diberikan”. Riwayat ibnu khuzaimah, ibnu hibban dan
hakim.
4. Hubungan Islam
Orang yang meninggal dunia apabila tidak ada ahli
warisnya yang tertentu, maka harta peninggalannya diserahkan ke baitulmal untuk
umat Islam, dengan jalan pusaka.
Sabda rasulullah S.A.W.:
انا وارث من
لا وارث له رواه احمد
وابو داود
“Saya menjadi waris orang
yang tidak mempunyai ahli waris”. Riwayat Ahmad dan abu daud.
Rasulullah saw terang tidak menerima pusaka untuk diri beliau
sendiri, hanya beliau menerima warisan seperti itu untuk dipergunakan
semata-mata untuk kemaslahatan umat Islam.
C. Sebab-sebab penghalang kewarisan
Penghalang kewarisan artinya suatu keadaan yang
menjadikan tertutupnya peluang seseorang untuk mendapatkan warisan. Sebab-sebab
yang dapat menghalangi tersebut ialah:
a. Perbudakan (hamba sahaya)
Hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta peninggalan kerabatnya sebab
kalau ia mewarisi berarti harta warisan itu akan diminta oleh majikannya.
Padahal majikannya adalah orang lain dari kerabat hamba sahaya yang menerima
warisan tersebut. Terhalangnya hamba sahaya dalam hal warisan dapat ditinjau
dari dua hal, yaitu:
Ø
Mempusakai
harta peninggalan dari ahli warisnya
Seorang hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta warisan ahli warisnya,
bila:
a) Ia dipandang tidak cakap mengurusi harta milik.
Seandainya ia diberikan harta pusaka dari kerabatnya yang telah meninggal,
secara yuridis harta pusaka yang telah diterimanya itu jatuh ketangan
majikannya.
b) Status kekeluargaannya terhadap kerabat-kerabatnya
sudah putus sehingga ia telah menjadi keluarga asing yang bukan keluarganya.
Padahal sudah menjadi kesepakatan para
ulama bahwa mewariskan kepada orang asing itu tidak boleh dan hukumnya adalah
batal
Ø
Mempusakai
harta peninggalan kepada ahli warisnya
Seorang budak tidak boleh mewariskan harta peninggalannya- seandainya ia
mati meninggalkan harta-kepada ahli warisnya sendiri. Ini karena ia dianggap
melarat dan tidak punya peninggalan harta sedikitpun
b. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris, ia tidak boleh mewarisi
harta peninggalan. Dasar hukum yang menetapkan pembunuhan sebagai halangan
mewarisi ialah hadis Nabi SAW.dan ijma’ para sahabat.
Hadist Rasulullah SAW.:
من قتل قتيلا فإنه لا يرثه وإن لم يكن له وارث غيره وان
كن والده او ولده فليس لقاتل ميراث
رواه احمد
“Barang siapa membunuh seorang
korban, ia tidak dapat mempusakainya walaupun si korban itu tidak mempunyai
waris selain dia, dan jika si korban itu bapaknya atau anaknya, maka bagi
pembunuh tidak berhak menerima harta peninggalan.”
c. Perbedaan Agama
Perbedaan agama ialah perbedaan agama yang menjadi kepercayaan orang
yang mewarisi dengan orang yang diwarisi. Misalnya, agamanya orang yang
mewarisi itu kafir, sedangkan yang diwarisi beragama Islam, maka orang kafir
tidak boleh mewarisi harta peninggalan orang Islam
لايرث المسلم الكافر ولا يرث الكافر المسلم رواه الجماعة
“Sedang muslim tidak boleh mewarisi orang kafir, dan orang
kafir tidak boleh mewarisi orang muslim.” (H.R Bukhari-Muslim)
d. Murtad
Orang yang keluar dari agama
islam, tidak dapat menerima warisan dari
keluarganya yang masih tetap memeluk
agma islam dan sebaliknya ia pun
tidak diwarisi oleh mereka yang masih
beragama islam.
Sabda rasulullah saw.
D. Ahli waris
Orang –orang yang boleh (mungkin ) mendapat warisan dari seorang yang meninggal dunia ada 25 orang, 15 orang
dari pihak laki-laki , dan 10 orang dari pihak perempuan :
a) Dari pihak laki-laki
1) Anak laki-laki dari
yang meninggal
2) Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak
anak laki-laki dan terus kebawah asal pertaliannya masih terus laki-laki.
3) Bapa dari yang meninggal
4) Kakek dari pihak
laki-laki dan terus ke atas pertalian yang belum terpputus dari pihak laki-laki(ayah)
5) Saudara kandung
6) Saudara laki-laki se bapa
7) Saudaa laki-laki seibu saja
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapa
9) Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapa saja
10) Saudara laki-laki dari bapa(paman) seibu sebapa
11) Saudara laki-laki dari bapa sebapa saja.
12) Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu sebapa
13) Anak laki-laki dari saudara bapak sebapa saja
14) Suami
15) Laki-laki yang memerdekakan mayat( orang meninggal)
Jika 15 orang tersebut di atas semua ada, maka yang
mendapat harta warisan hanya 3 orang saja, yaitu: bapak, anak laki-laki, dan
suami.
b) Dari pihak perempuan
1) Anak perempuan
2) Anak perempuan dari anak laki laki dan seterusnya ke
bawah dengan syarat pertaliannya dengan
dengan yang meninggal masih terus laki laki
3) Ibu
4) Ibu dari bapa
5) Ibu dari ibu terus
ke atas pihak ibu sebelum berselannnng laki-laki
6) Saudara perempuan seibu sebapa
7) Saudara perempua sebapa
8) Saudara perempuan sebiu
9) Isteri
10) Perempuan yang memerdekakan mayat
Jika orang tersebut di atas
ada semuanya, maka yang dapat mewarisi dari
mereka hanya 5 orang saja, yaitu: isteri, anak perempuan, anak peempuan dari
anak laki-laki, ibu, saudara perempuan seibu sebapa.
- Cara pembagian
harta waris antara dua orang bersaudara (laki dan perempuan) hendaklah
tiap laki-laki mendapat dua kali bagian dari perempuan sekiranya dari 25
orang tersebut di atas dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan
semuanya ada maka, yang pasti mendapat hanya 1/3 KPK dari penyebut 3 dan 6
adalah 6. pembagian antara keduanya yaitu:
1 x 1/6 = 1/6 untuk ibu.
1 x 2/6 = 2/6 untuk istri.
- Ahli waris terdiri dari atas Ibu, istri, dan anak laki-laki. maka ibu mendapat
1/6, istri 1/8, dan anak laki-laki mengambil semua ashobah. kelipatan persekutuan
terkecil dari kedua ketentuan itu (6 dan 8) adalah 24. cara pembagian
diantara mereka adalah:
1 x 4/24 = 4/24 untuk ibu
1 x 3/24 = 3/24 untuk istri
1 – (4/24 + 3/24) = 17/24
untuk anak laki-laki.
- Ahli waris hanya terdiri atas ibu dan istri,
maka, ibu mendapat 1/3, dan istri mendapat ¼, KPK dari penyebut 3 dan4
adalah 12. Cara melakukan pembagian antara keduanya adalah:
1 x 4/12 = 4/12 untuk ibu.
1 x 3/12 = untuk istri
1 – (4/12 + 3/12) = 5/12 adalah sisa yang harus
diberikan kepada yang berhak dengan jalan lain.
‘AUL
‘Aul artinya jumlah beberapa
ketentuan lebuh banyak dari pada satu bilangan, atau juga berarti jumlah
pembilang dari beberapa ketentuan lebih banyak dari pada KPK dari npenyebutnya. Umpamanya
ahli waris adalah suami dan dua saudara perempuan seibu sebapa, maka suami
mendapat ketentuan ½, dua saudara perempuan mendapat 2/3, sedangkan KPK dari 2
dan 3 adalah 6. Kita jadikan 3/6 untuk suami dan 4/6 untuk kedua saudara
perempuan, jadi jumlah kedua pembilangnya adalah 7, sedangkan penyebut keduanya
adalah 6. disini nyata bahwa pembilang lebih banyak dari pada penyebut. apabila
terdapat masalah seperti ini, hendaklah harta kita bagi tujuh bagian: tiga
bagian untuk suami dan empat bagian untuk kedua saudara perempuan.
E. Furudhul muqaddrah ( ketentuan kadar bagian masing-masing)
Furudul muqaddarah artinya bagian-bagian ahli waris
yang ditetapkan (ditentukan) oleh al-qur’an dan hadits nsbi saw. Bagian-bagian ialah:
1) 1/2
2) 1/4
3) 1/8
4) 1/6
5) 1/3
6) 2/3
Disamping furudhul muqaddarh
di atas terdapat juga satu macam furudh hasil ijtihad para ulama yaitu
sepertiga sisa harta peninggalan.
F. Hak-hak atau bagian ahli waris
1. Ahli waris yang mendapatkan bagian ½
Ahli waris yang berhak menerima bagian ½ terdiri atas
5 orang, yaitu seorang laki-laki dan empat orang perempuan.

Ia akan mendapatkan bagian ½ dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
1) Tidak ada anak laki-laki atau
anak laki-laki isterinya yang meninggal, baik dari hasil perkawinan dengannya,
maupun dengan laki-laki lain. hal ini
berdasarkan firman Allah swt
ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد النساء

ia mendapat
bagian ½ dengan syarat:
1. tidak ada
saudara laki-laki yang berhak mewarisi, yaitu anak laki-lakinya
orang yang meninggal
2. tidak lebih dari seorang perempuan
Ketentuan
ini berdasar firman Allah
وان كانت واحدة فلها النصف النساء
Akan tetapi perempuan tidak mewarisi setengah jika ada
anak laki-laki yang mendapat bagian asabah. Hal ini karena jika ia memperoleh
bagian 1/2 bagiannya itu akan sama dengan bagian anak
laki-laki, bahkan satu saat bisa melebihinya, sedangkan hal itu tidak
diperkenankan oleh syariat islam

Ia mendapat bagian setengah dengan syarat
1. Tidak bersama
saudara laki-laki yang berhak asabah, yaitu anak laki laki dari anak
laki-laki
2. Ia hanya seorang diri
3. Tidak ada anak perempuan atau anak laki-laki
Alasan yang mendasari bahwa anak perempuannya anak
laki-laki memperoleh bagian ½ adalah
kedudukannya dapat disamakan dengan anak perempuan, sedangkan anak perempuan
dapat memperoleh bagian ½, jika tidak
ada anak laki-laki.
Dalam firman Allah disebutkan
يوصيكم الله في اولادكم النساء
Kataا ولاد mengandung pengertian anak-anak sendiri dan
anaknya anak laki-laki. Hal ini
didasarkan atas ijma’ para ulama.

Ia mendapatkan bagian ½ dengan syarat:
1. Tidak saudara laki-laki kandung yang membuatnya
menjadi asabah
2. Ia seorang diri
3. Orang yang meninggal tidak mempunyai ushul dan
keturunan. Ushul adalah ayah atau kakek, sedangkan keturunan adalah anak, baik perempuan maupun laki-laki
Firman Allah:
يستفتونك قل
الله يفتيكم في الكلالة ان مرؤ هلك ليس له ولد وله اخت فله نصف ما ترك

Ia akan mendapat bagian ½ dengan syarat
1. Tidak bersama
saudara laki-laki yang mendaptkan asabah, yaitu saudara saudara laki-laki seayah
2. Ia seorang diri
3. Orang yang meninggal
tiodak mempunyai ushul dan keturunan
4. Tidak ada perempuan saudara kandung
Ketentuan ini berdasarkan ijma’ ulam dan firman Allahوله اخت فلها
نصف ما ترك النساء
Kata اخت mengandung arti saudara perempuan sekandung dan seayah
saja. Mengenai saudara perempuan seibu, ia tidak selamanya mendapatkan ½,
tetapi bisa juga mendapat bagian 1/6 dengan syarat seperti tersebut diatas.
2. Ahliwaris yang mendapatkan bagian ¼
Ahli waris yang mempunyai
hak menerima bagian ¼ terdiri atas dua, yaitu:

Ia akan mendapat bagian seperempat jika isterinya yang
meninggal mempunyai anak atau anaknya anak laki-laki, baik dari hasil
pekawinannya dengan dia atau dengan suami lain
Dasarnya dalah firman Allah swt
فان كا ن
لهن ولد فلكم الربع مما تركن النساء

Ia akan mendapatkan bagian seperempat bila suaminya
tidak mempunyai anak atau anaknya anak (cucu) terus kebawah, baik dari
isterinya itu atau isteri lain
Dasarnya ialah firman Allah
ولهن الرب
مما تركتم ان لم يكن لكم ولد النساء
Patut diperhatikan bahwa bagi isteri, baik seorang
atau lebih tetap merupakan satu kesatuan. Jadi meskipun jumlahnya banyak
bagiannya tetap tidak berubah, mengingat firman Allah diatas menggunakan bentuk
jama’
3. Ahliwaris yang mendapatkan bagian 1/8

Firman Allah
وان كان لكم
ولد فلهن اربع الثمن مما تركتممن بعد وصية توصون بها او دين النساء
4. Ahliwaris yang mendapatkan bagian 1/3
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian sepertiga
terdiri atas dua orang, yaitu:

1. Orang yang meninggal tidak mempunyai anak atau cucu dari anak laki-laki
2. Orang yang meninggal tidak mempunyai beberapa saudara
laki-laki atau perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu yang dapat
mewarisi sehingga menjadikannya terhijab. firman Allah swt
فان لم يكن له ولد وورثه ابواه فلامه الثلث النساء

1. tidak ada ushul
atu furu’
2. Jumlah mereka dua orang atau lebih, baik laki-laki
maupun perempuan semua, atau satu laki-laki satu perempuan. Friman allah
وان كان رجل يورث كلا لة اوامرءة وله اخ او اخت فلكل واحد منهما السدس
فان كانو ا كثر من ذلك فهم شركاء ف الثلث
5. Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/6
Bagian 1/6 menjadi hak tujuh orang ahli waris, yaitu:

ولابويه لكل
واحد منهما السدس مما ترك ان كا له ولد

Kakek dapat mengganti kedudukan ayah, apabila tidak
mewarisi bersama ayahnya, kecuali dalam tiga masalah berikut:
1. Beberapa saudara laki-laki kandung atau seayah, tidak
mewarisi bersama ayah, tetapi bersama kakek.
2. Dalam masalah gharawain yang pertama, yaitu ketika
seorang istri meninggal dunia dengan ahli warisnya adalah suami, ibu, ayah. Dalam
hal ini, ibu mendapatkan bagian 1/3 sisa. Akan tetapi, kalau kedudukan ayah
ditempati oleh, maka bagian ibu tetap 1/3 dari seluruh harta peninggalan.
3. Dalam masalah gharawain yang kedua, yaitu apabila suami
meninggal dengan ahli waris: istri, ibu, dan ayah. Dalam hal ini ibu mendapat
bagian 1/3 sisa. Akan tetapi, kalau kedudukan ayat ditempati kakek, ibu
mendapat bagian dari seluruh harta peninggalan.

1. Orang yang meninggal mempunyai anak atau cucu dari
anak laki-laki.
2. Orang yang meninggal mempunyai dua orang saudara atau
lebih, baik lelaki maupun perempuan, baik sekandung, seayah, atau seibu.


Saudara
perempuan seayah (seorang atau lebih) mendapat bagian seperenam jika orang yang
meninggal mempunyai saudara perempuan sekandung. Ketentuan ini serupa dengan
ketentuan bagi anak perempuan dari anak laki-laki ketika bersama dengan anak
perempuan. Oleh karena itu, apabila orang yang meninggal itu meninggalkan
saudara perempuan kandung dan saudara seayah lebih dari satu orang, saudara
perempuan seayah (baik seorang atau lebih) akan mendapatkan seperenam bagian,
untuk menyempurnakan 2/3(dua pertiga), karena bagian 2/3 ini msaudara
perempuan. Jadi apabila audara perempuan sekandung mengambil ½ bagian dari
harta peninggalan sebagai kerabat terdekat, tidak ada sisa, kecuali1/6 yang
akan diambil saudara perempuan seayah (baik satu orang atau lebih)

Saudara laki-laki atau perempuan akan mendapatklan bagian 1/6 apabila
sendirian. Hal ini berdasarkan firman Allah
وان كان رجل يورث كلا لة اوامرءة وله اخ او اخت فلكل واحد منهما السدس
Bagi mereka, dalam mewarisi dan mewariskan disyaratkan tidak ada ushul
dan anak secara mutlak

Ia mendapatkan bagian 1/6 apabila tidak ada ibu, baik seorang atau
lebih, seperti ibunya ibu atau ibunya bapak, dan seterusnya. Jika lebih dari
seorang maka bagian yang berhak diterima itu dibagikan sama rata kepada mereka.
Ketentuan 1/6 bagian kepada nenek ini ditetapkan berdasarkan sunnah dan ijma’
sahabat
G. Ahli waris asabah
Asabah
menurut bahasa berarti semua kerabat seorang laki-laki yang berasal dari ayah.
Mereka disebut asabah karena mereka merupakan orang –orang yang menghalangi atau
melindungi. Menurut istilah ulama faradiyyun, asabah adalah ahli waris yang
tidak mendapat bagian yang sudah dipastikan besar kecilnya yang telah
disepakati oleh seluruh fuqaha.
Jadi asabah adalah semua
ahli waris yang tidak mempunyai bagian tetap dan tertentu, baik yang diatur
dalam al-quran maupun hadits.
Mereka terdiri atas:
1. Anak laki-laki
2. Anak
laki-lakinya anak laki-laki
3. Saudara
sekandung
4. Saudara seayah
5. Saudaranya ayah sekandung
Kekerabatan diantara mereka kuat,
karena mereka diturunkan melalui garis ayah bukan dari garis ibu, sebaliknya
keturunan yang berasal dari ibu melemahkan kerabat, seperti saudara laki-laki
seibu. Dari pengertian diatas dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
ashabah setiap orang yang mengambil bagian semua harta apabila ia sendirian dan
mengambil sisa sesudah ashabul furudh mengambil bagiannya.
H. Macam –macam ashabah 3
Ashabah nasabiyah pokok
dalam kewarisan terdiri atas ashabah binafsih, ashabah bil ghoiri, dan ashabah
ma’al ghoiri
1. Ashabah binafsih
Adalah kerabat laki-laki
yang dipertalikan dengan orang yang meninggal tanpa diselingi oleh orang perempuan.
Ketentuan ini mengandung dua
pengertian, yaitu antara mereka dengan orang
yang meninggal tidak ada perantara sama sekali, seperti anak laki-laki dan ayah
orang yang meninggal, serta terdapat perantara, tetapi bukan orang perempuan , seperti cucu laki-laki dari anak
laki, ayahnya ayah, saudara sekandung dan saudara seayah. Jika orang
yang menjadi perantara itu prempuan, seperti cucu laki-laki dari anak
perampuan, ayahnya ibu, dan saudara seibu, mereka bukan bukan ashabah binafsih.
a. Ketentuan hukum ashabah binafsih
Ashabah binafsih mempunyai
empat jalur yang perolehan warisannya harus dilakukan secara berurutan. Apabila
ada salahseorang diantar ahli waris yang memperoleh ashababh sendirian, tidak
ada ahli waris lainnya, aia memperoleh seluruh harta peningalan atau mendapat
sisa harta setelah diambil oleh ahli waris yang mempunyai bagian ttap. Apabila jumlah ahli waris ashabah binafsih
itu cukup banyak, harus ditarjih dicari mana yang lebih kuat hubungan
kekerabatannya, yang uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Tarjih bil jihah
Apabila ashabah binafsih
jumlahnya cukup banyak, ashabah yang menduduki jalur urutan pertama harus
didahulukan daripada jalur kedua dan
seterusnya. Dengan demikian, jalur anak harus didahulukan dari jalur lainnya. Ini
berarti anak laki-laki orang yang meninggal mengambil seluruh harta atau sisa
setelah diambil bagian oleh ashabul furudh. Jika tidak anak laki-laki, bagian
itu diperoleh anak-anaknya terus kebawah karena menduduki kedudukan anak (bapaknya).
Apabila seseorang meninggal dengan ahli waris anak laki-laki, ayah, dan saudara
laki-laki kandung, ashabah disini adalah anak laki-laki karena jihat bunuwwah
harus didahulukan daripada yang lainnya. Ayah sebagai ashabul furudh dan
saudara laki-laki kandung tidak memperoleh bagian apa-apa karena derajatnya
jauh
2. Tarjih biddarajah
Apabila ashabah binafsih
terdiri atas beberapa orang dan jalurnya sama, cara pembagiannya adalah
menurut tingkatannya dengan mendahulukan mereka yang lebih dekat kedudukannya
dengan orang yang meninggal. Misalnya: seorang meniggal dengan ahli warisnya
adalah anak laki-laki dan cucu dari anak laki-laki, maka yang berhak mendapat
warisan adalah anak laki-laki- sebab kedudukannya lebih dekat dengan orang yang
meninggal dari pada cucu dari anak laki-laki.
3. Tarjih biquwwatil qarabah
Apabila ashabah binafsih berada
dalam satu jihat dan derajat yang sama, harus ditarjih melalui
kekerabtannya, artinya harus didahulukan
mereka yang kuat derajatnya. Oleh karena itu, ashabah yang memiiki
kekerabatannya rangkap, seperti saudara kandung didahulukan dari pada ashabah
yang hanya memiliki kekerabatan tunggal, seperti saudara tunggal ayah. Demikian
juga dengan anak laki-laki kandung hendaklah didahulukan dari pada anak laki-laki
saudara seayah dan anak laki-laki paman sekandung harus didahulukan dari pada anak
laki-laki paman saya. Jadi apabila ada
anak laki-lalki saudara laki-laki sekandung bersama anak laki-lakinya saudara
laki-laki seayah, seluruh harta peninggalan diberikan kepada anak laki-laki
saudara laki-laki sekandung
2. asabah bil ghair
Asabah bil ghair adalah setiap orang perempuan
memerlukan orang lain untuk menjadikan asabah dan bersama-sama menerima usubah.
Mereka terdiri dari atas empat orang wanita yang fard. Mereka mendapat ½ bila
tunggal dan 2/3 bila lebih dari seorang. Keempat orang wanita tersebut adalah:
1. anak perempuan kandung menjadi asabah bersama bersama
anak laki-laki kandung
2. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan)
menjadi asabah bersama anak laki-lakinya anak laki-laki, baik tingkatannya sama
atau lebih rendah (urutan ke bawah), jika tidak ada ahli waris lainnya.
3. Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama
saudara laki-laki sekandung.
4. Saudara perempuan seayah menjadi menjadi ashabah
bersama saudara laki-laki seayah.
Apabila salah seorang dari
keempat perempuan tersebut bersama salah seorang muasib binafsi yang derajat
dan kekuatannya sama, ia menjadi ashabul bil ghairi (bersama orang lain). Ia
bersama-sama dengan muasib-nya menerima sisa harat peninggalan dari ashabul
furud atau menerima seluruh harta peninggalan bila tidak ada ashabul furud,
dengan ketentuan orang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian orang
perempuan.
a) Syarat-syarat asabah bil ghair
1. Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furud (mempunyai
bagian tetap). Orang perempuan yang tidak tergolong ashabul furud walaupun ia
mewarisi bersama dengan muasib-nya, tidak menjadi asabah bil ghair.
2. Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud)
dengan orang yang meng-asabah-kan (muasibnya) memiliki tingkatan (dalam jihat)
yang sama.
3. Orang yang meng-asabah-kan (muasib) harus sama
derajatnya dengan perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud).
4. Adanya persamaan kekuatan kerabat antara perempuan
shabul furud dengan muasib-nya.
3. Asabah ma’al ghair
Asabah ma’al ghair ialah
setiap perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi asabah, tetapi orang
lain tersebut tidak berserikat dalam menerima usubah. Orang yang menjadikan
asabah tetap menerima bagian sesuai dengan fard-nya sendiri.
Asabah ma’al ghair hanya
terdiri atas saudara hanya terdiri atas saudara perempuan sekandung dan saudara
perempuan seayah.kedua orang tersebut dapat menjadi asabah ma’al ghair, dengan
syarat berikut:
1. Berdampingan dengan seorang atau beberapa orang anak atau
cucu perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah.
2. Tidak berdampingan dengan saudaranya yang menjadi
muasib-nya.
I. Wasiat
Wasiat ialah pesan tentang suatu kebaikan yang akan
dijalankan sesudah seseorang meninggal dunia. hukim wasiat adalah sunat.
sesudah Alha menerangkan beberapa ketentuan dalam pembagian harta pusaka,
diterangkan pula bahwa pembagian harta tersebut hendaklah dijalankan.
Firman Allah:
من بعد وصية
يوصى بها. (النساء)
“sesudah
dipenuhi apa yang ia buat”. (An-nisa)
Rukun
Wasiat
1.
Ada orang yang berwasiat, hendaklah bersifat mukallaf dan berhak berbuat
kebaikan serta dengan kehendaknya sendiri.
2.
Ada yang menerima wasiat (mausilah), keadaan hendaklah bukan dengan jalan
maksiat, baik pada kenaslahatan umum, seperti pembangunan mesjid, sekolah atau
yang lainnya. tetapi kalau kepada yang tertentu hendaklah ditambah syarat yang
bersifat seseorang yang boleh memiliki.
3.
Sesuatu yang diwasiatkan, disyaratkan dapat berpindah milik dari seseorang
kepada orang lain.
4.
Lafadz (kalimat)wasiat, yaitu kalimat yang dapat dipahami untuk wasiat.
sebanyak-banyak
wasiat adalah sepertiga harta, tidak boleh lebih kecuali bila diijinkan oleh
semua ahli waris sesudah orang itu meninggal dunia.
BAB
IV
PENYELESAIAN
WARISAN SECARA AUL & RADD
A. MASALAH ‘AUL
1. Pengertian
Pengertian aul menurut bahasa ada beberapa macam, di
anataranya adalah cenderung kepada perbuataan aniaya dan menyimpang. Arti ini
ditunjukkan dalam firman Allah SWT.
Kadang-kadang, aul juga berarti
naik. Misalnya, air sedang, atau perkara naik ke pengadilan. Dapat pula berarti
bertambah, seperti dalam kalimat timbangan bertambah. Seperti dalam kalimat
timbangan bertambah.
2. Pokok-pokok masalah yang dapat berkembang dan tidak
Seperti kita ketahui bahwa pokok masalah dalam ilmu
waris, yaitu ada tujuh macam. Tiga macam diantaranya dapat berkembang (di-aul-kan,
yaitu 6, 12, dan 24, sedangkan empat tidak berkembang (tidak dapat di-aul-kan),
yaitu 2, 3, 4, dan 8.
Asal masalah
yang dapat di-aul-kan, yaitu 6, dapat di-aul-kan sampai 1, baik ganjil maupun
genap. Yaitu dalam masalah yang dikenal dengan masalah mimbariyah.
B. MASALAH RADD
Mnurut bahas rad adalah i’adah, mengembalikan.
Menurut istilah radd ialah pengambilan bagian yang
tersisa dari dzawil furudz nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar
kecilnya bagian masing-masinf bila tidak ada lagi oang lain yang berhak menerimanya.
Rukun-rukun radd
Radd terjadi bila memenuhi tiga rukun yaitu sebagai
berikut
1. Adanya shabul furudh
2. Adanya
kelebihan harta peninggalan
setelah dibagikan kepada masing-masing
ahli waris
3. Tidak ada ahli waris ashabah
Semua ahli waris yang mempunyai bagian tertentu
kecuali suami isteri, berhak menerima kembali sisa harta yang masih ada berhak
menerima radd.
Contoh
penyelesaian waris:
1.
Muqasamah lebih menguntungkan dari pada
1/6 sacara fard.
Seseorang
meninggal, ahli warisnya terdiri atas suami, kakek, dan saudara kandung. Harta
peninggalannya sejumlah Rp 24.000.000,- bagian masing-masing adalah : jika
dengan jalan muqasamah:
Ahli Fard asal
masalahnya: Penerimaannya
Waris 6, sahamnya
Suami ½ ½ x 2 = 1 1x
Rp.24.000.000 : 2
Rp. 12.000.000
Sisa
= 1 Rp. 12.000.000
Kakek muqasamah =
1 1x Rp.24.000.000 :
2
Rp.
6.000.000
Sdr kandung muqasamah = 1 1x
Rp.24.000.000 : 2
Rp.
6.000.000
Jika dengan jalan 1/6 farad:
Ahli waris
|
Fard
|
Asal masalahnya : 6, sahamnya
|
Penerimaanya
|
Suami
|
½
|
½ x 6 = 3
|
3x Rp. 24.000.000 : 6
|
Rp. 12.000.000
|
|||
Kakek
|
1/6
|
1/6 x 6 = 1
|
1x Rp. 24.000.000 : 6
|
Rp. 4.000.000
|
|||
Sdr kandung
|
ashabah
|
6 - 4 = 2
|
2 x Rp. 24.000.000 : 6
|
Jumlah
|
Rp. 8.000.000
|
Dari dua jalan tersebut, penyelesaian secara muqasamah
lebih menguntungkan kakek dari pada dengan jalan 1/6 secara fard. Dengan
muqasamah, kakek menerima Rp. 6.000.000,-sedangkan dengan jalan fard, ia hanya
menerima Rp. 4.000.000
SIMPULAN
Ilmu waris (mawaris) atau lebih dikenal dengan istilah
faraid adalah Ilmu untuk mengetahui orang yang berhak menerima pusaka dan orang
yang tidak dapat menerima pusaka serta kadar-kadar yang diterima oleh tiap-tiap
ahli waris dan cara pembagiannya. seseorang berhak menerima waris karena adanya
sebab-sebab hubungan:
1. Kekeluargaan,
2. Perkawinan
3. Dengan jalan memerdekakan dari perbudakan (wala’)
4. Hubungan Islam
Dalam hukum Islam tidak semua yang ditinggalkan oleh
muwaris berhak menerima warisan orang-orang yang tidak berhak menerima warisan
adalah sebagai berikut:
-
karena
Pebudakan (hamba sahaya)
-
karena
Pembunuhan
-
karena Perbedaan Agama
-
karena Murtad (Orang yang keluar dari agama islam)
Dalam pembagian waris dapat di tempuh melalui aul dan
raad ialah pengambilan bagian yang tersisa dari dzawil furudz nasabiyah kepada
mereka, sesuai dengan besar kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya.
REFERENSI
M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam
Islam, (PT. Bulan Bintang: Jakarta), hal. 3-5
Suparman Usman, Fiqh Mawaris
Hukum Kewarisan Islam, (Gaya Media Pratama: Jakarta), hal. 3-4.
Suparman Usman, Fiqh Mawaris
Hukum Kewarisan Islam, (Gaya Media Pratama: Jakarta), hal. 4-7
Komite Fakultas Syari’ah Universita
Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris (Senayan Abadi Publishing:Jakarta),
hal.11-13.
Otje Salman S. dan Mustofa Haffas, Hukum
Waris Islam, (PT Refika Aditama: Bandung), hal. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar