A. Pendahuluan
Dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam, al-Ghazali adalah nama monumental yang di dalam sosoknya terakumulasi beberapa dimensi. Ia dikenal sebagai Faqih, mutakallim, filosof, sufi dan sekaligus juga tokoh reformasi keagamaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh dan akar kuat dalam sejarah Islam kemudian. (1)
Al Ghazali memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Ia menguasai berbagai pengetahuan pada masanya dan mampu mengemukakannya secara menarik seperti tercermin dalam karya-karyanya. (2)
Sebagai faqih, ia berafiliasi pada aliran Syafiiyah dan sebagai teolog, ia berafiliasi pada aliran Asy'ariyah. Di samping menguasai ilmu-ilmu agama, ia juga menguasai filsafat dan logika (3), al-Ghazali adalah salah seorang pemikir yang produktif dalam berkarya serta luas wawasannya. Ia menyusun banyak buku dan risalah meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, akhlak, logika, filsafat dan tasawuf. (4) Karya al-Ghazali dalam bidang tasawuf cukup banyak. Ihya' 'Ulum al-Din adalah karyanya yang termasuk paling penting. Di dalamnya, ia menguraikan dengan rinci pendapatnya tentang tasawuf dan menghubungkannya dengan fiqh maupun moral agama. Tercatat pula sejumlah karyanya yang lain diantaranya al Munqidz min al- Dlolal, Minhaj al 'Abidin, Kimia' al Sa'adah, al-Risalah al Ladunniyah, Misykat al-Anwar, dan al-Maqashid al-Asma fi Syarkh Asma' Allah al--Husna.
Karena itu, kajian terhadap al-Ghazali selalu menarik, seperti tidak pernah selesai, selalu mengalir dari masa ke masa, dan dapat ditinjau dari berbagai dimensi. Makalah ini hadir dalam kerangka ketertarikan melihat al-Ghazali. Dimana dimensi yang berusaha dikaji adalah dimensi tasawufnya, yang lebih spesifik lagi konsepnya tentang ma'rifat.
B. Figur dan Perjalanan Hidup Al Ghazali Menuju Tasawuf
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lahir di Ghazaleh--sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan --pada tahun 450 H/1058 M, 5 empat setengah abad setelah hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah (6) dan kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan Alp Arselan ke singgasana Saljuk. Ia meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima tahun, pada tahun 1111 M. (7) di Tabaran, sebuah kota dekat Thus. (8) Al-Ghazali menghabiskan beberapa waktu pada salah satu sekolah agama di daerahnya dan belajar fiqh serta dasar-dasar ilmu Arab kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzkani pada tahun 465 H/1073. (9) Pada saat berusia kurang dari dua puluh tahun, ia pindah ke Jurjan untuk belajar kepada seorang Imam madzhab Syafi'i, ahli hadits, dan ahli sastra yaitu Imam al-Allamah Abu Nashr al-Isma'ili Al Jurjani (404-477 H). Dari Syekh Ismail, Ghazali menuliskan sejumlah komentar dalam masalah Fiqh. (10) Di Jurjan, ia mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya. (11) Namun, di tempat ini, tampaknya al-Ghazali tidak mendapat keun-tungan rasional dari apa yang ia tulis dan ia dengar. Dia mem-baca dan menulis dengan cepat tanpa memberikan perhatian. (12)
Dari Jurjan, al-Ghazali kembali ke Thus. Di sini, selama tiga tahun ia berkonsentrasi mempelajari ilmu yang dia pelajari di Jurjan sebelumnya sehingga dia hapal semua yang dipelajari-nya. (13) Selanjutnya ia berangkat ke Nisapur, kota di Khurasan yang menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan penting di dunia Islam pada saat itu,dan belajar di sana.
Disana, ia berguru pada salah seorang teolog Asy'ariyah, Abu al-Ma'ali al-Juwaini yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain, guru besar di madrasah al-Nizamiah Nisapur. Mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini antara lain: teologi, fiqh, ushul fiqh, filsafat, logika, sufisme dan ilmu alam. (14)
Fase ini dipandang sebagai fase yang paling memiliki pengaruh dalam sejarah kehidupan al--Ghazali dan starting point keraguan-keraguan yang menimpa jiwa-nya. (15)
Setelah wafatnya Imam Haramain (478 H/1085), al-Ghazali pergi ke Istana Nizamul Muluk di Nisapur. Nizamul Muluk dikenal sebagai orang yang dekat dengan ulama dan para sastrawan. Di sana, Nizamul Muluk kagum pada peguasaan ilmu al-Ghazali dan kemampuannya dalam bertukar pikiran. Kekaguman ini kemudian me-ngantarnya pada posisi sebagai pengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad setelah penunjukan dirinya oleh Nizamul Muluk untuk me-nempati posisi tersebut pada tahun 484 H./1091. (16) Dari penunju-kannnya ini, al-Ghazali memulai sebuah tahap kehidupan barunya di Baghdad. Ia masuk ke kota Baghdad disaat ia menginjak peng-hujung usia mudanya. Di sana ia mendapat keagungan dan kemasyhuran yang meluas.
Dalam fase kehidupannya di Baghdad ini, al-Ghazali melakukan pengembangan dan perluasan ilmunya melalui aktifitas yang intensif dalam penelitian dan pengkajian. Ia mempelajari filsafat secara mendalam dan mengkaji kitab-kitab para filosof terdahulu seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Wujud dari studi intensifnya ini adalah tersusunnya kitab "Maqasid Al-Falasifah" dan karya fenomenalnya dalam bidang filsafat "Tahafut Al-Falasifah" yang merupakan kritik tajamnya terhadap beberapa pendapat bebe-rapa filosof. (17)
Di samping itu, al-Ghazali juga melakukan kajian yang mendalam pada sejumlah pemikiran dalam berbagai bidang yang berkembang pada masanya, yang kemudian melahirkan beberapa kritiknya terhadap empat kelompok aliran pemikiran yang sedang berkembang pada masa itu, yakni teolog, filosof, aliran bathiniyah, dan kaum sufi. (18)
Saat itu, disiplin ilmu-ilmu agama, bahkan keberagamaan itu sendiri, tampaknya telah menjadi sangat formalistis. Agama ketika itu telah diperlakukan sebagai obyek kajian (obyek material) dari beberapa sudut pandang dan untuk mengejar kepentingan-kepentingan profan ketimbang sebagai ajakan ilahi agar manusia dapat mencapai keluhuran budi dan keluhuran ruhani. Ilmu fiqh, Ilmu kalam, dan filsafat adalah kajian eksoteris yang telah kehilangan dimensi 'dalam'-nya, dan menampakkan diri sebagai seni perdebatan--secara sinis, sebagai semata dialekti-ka pemikiran dan akrobatik verbal--dari kaum intelektual yang mengharapkan popularitas dan kedudukan. (19) Dalam pandangan al--Ghazali, kehidupan dan perkembangan ilmu, apalagi ilmu agama, tanpa kandungan nuansa ruhaniah adalah percuma.
Setelah rampung mengkritik para teolog, filosof, dan penganut aliran batiniyah, al-Ghazali mulai mengkaji karya--karya sufi secara mendalam. (20) Akhirnya ia tertimpa krisis psikis yang sangat kronis, karena ia tahu betapa senjangnya antara kehidupan sufi dan jalan yang ditempuhnya saat itu; yang pres-tisius, mencari ketenaran dan kekayaan. (21) Krisis ini berlangsung selama enam bulan dan membuatnya menjadi sangat lemah.
Agaknya, hal tersebut timbul karena ia hendak bertindak jujur terhadap dirinya sendiri. Ia sadar bahwa motivasinya mengajar ilmu-ilmu, pada awalnya, tidak lain adalah hanyalah untuk memperoleh jabatan dan membuatnya terkenal, yang ia sadari betapa rendahnya motivasi itu. Untuk itu ia berusaha melepaskan diri dari sikap yang demikian.
Akibat krisis ini, al-Ghazali meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di perguruan Al-Nizamiyah pada tahun 488 H/1095 M. Ia berhenti mengajar dan ber-uzlah selama sepuluh tahun. (22)
Sejak pengunduran diri hingga saat wafatnya tahun 505 H/1111 M, al-Ghazali menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang sufi, di samping selingan aktifitas belajar dan menyusun sejumlah kitab. (23)
C. Konsep Ma'rifat Menurut al-Ghazali
Dalam pengertian bahasa ma'rifat berarti mengetahui sesuatu apa adanya, 24 atau berarti ilmu yang tidak lagi menerima keraguan. (25)
Dalam pandangan al-Ghazali, sebagaimana ditulis oleh al--Taftazani, ma'rifat adalah mengenal Allah; tidak ada yang wujud selain Allah dan Perbuatan Allah. Menurut al-Ghazali, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Alam semesta adalah ayat (bukti) kekuasaan dan kebesarannya. (26) Ma'rifat adalah ilmu yang tanpa keraguan ketika obyek ilmu itu adalah Allah dan sifatnya. (27) Dalam ungkapan lain, ma'rifat menurut al-Ghazali adalah tauhidnya para shiddiqin yang tidak melihat selain ke-esaan Allah dalam seluruh apa yang tampak, dan menghilangkan hak-hak atas diri mereka. (28)
Ma'rifat adalah kondisi (hal) yang bermuara dari upaya-upaya mujahadat dan menghapus sifat-sifat yang jelek, pemutusan semua hubungan dengan makhluk, serta penghadapan inti/hakikat cita-cita kepada Allah yang dilakukan oleh seseorang. (29) Dalam kondisi ini, maka Allah kemudian hadir dan mengisi hati orang tersebut dan kemudian Allah memenuhi hati orang tersebut dengan rahmat, memancarkan nur-Nya, melapangkan dada, membuka padanya rahasia alam malakut, tersingkaplah dari hati orang tersebut kelengahan sebab kelembutan rahmat-Nya, serta berkilauanlah disana hakikat masalah-masalah ilahiyat. (30)
Para nabi dan wali memperoleh pengetahuan dan dadanya terpenuhi oleh nur dengan cara serupa ini. Mereka memperolehnya tanpa belajar dan membaca, tetapi dengan zuhud di dunia dan membebaskan diri dari belenggunya, mengosongkan hati dari kotoran-kotorannya, serta menghadap secara utuh kepada Allah. Ini bisa terjadi karena barangsiapa keberadaannya untuk Allah, maka Allah juga baginya. (31)
Perjalanan seseorang menuju ma'rifat berangkat dari keyakinan seseorang yang kemudian melalui upaya-upaya yang tidak mudah, seseorang melakukan perjalanan naik/perkembangan positif dalam kondisi internalnya dalam bentuk maqam/stage.
Keyakinan seseorang mengindikasikan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, surga dan neraka. Setelah keyakinan ini, seseorang naik kepada stage berikutnya yaitu khauf dan raja'.
Berikutnya tahap Shabr, yang menghantar kepada satu tahap diatasnya yaitu mujahadah, dzikr, dan tafakkur. Dzikir mengantarkan kepada tahap uns. Tafakkur menghantarkan kepada sempurnanya ma'rifat. Sempurnanya ma'rifat dan uns menghantar kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan kerelaan sesorang atas segala tindakan yang dicintainya dan percaya akan pertolongannya. Ini adalah tawakkal. (32)
Dalam kaitan dengan ma'rifat, ada dua term yang sering disebutkan oleh al-Ghazali yaitu ma'rifat al-dzat dan ma'rifat al-sifat. Pengertian ma'rifat al-dzat adalah pengetahuan bahwa-sanya Allah adalah dzat maujud, tunggal (fard), esa (wahid), dan sesuatu yang agung yang tegak dengan dirinya serta tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Sedangkan ma'rifat al-sifat ber-arti pengetahuan bahwa Allah adalah dzat adalah zat yang hidup (hayy), maha mengetahui ('alim), maha berkuasa(qadir), maha mendengar(sami'), maha melihat (bashir) dan seterusnya dengan sifat-sifat yang lain. (33)
Yang tercakup dalam ma'rifat adalah empat hal yaitu mengetahui diri (nafs), mengetahui tuhan (rabb), mengetahui dunia, dan mengetahui akhirat. Diri diketahui dengan jalan beribadah, merendah (dzull), dan menjadi faqir (iftiqar).
Tuhan diketahui dengan kemulyaan, keagungan, dan kekuasaannya. Ia dapat diketahui juga dengan keberadaan hamba sebagai seorang asing di dunia, keberadaannya sebagai orang yang sedang melaku-kan perjalanan dari dunia ke akhirat, dan orang yang menjauhi syahwat-syahwat kebinatangan (bahimiyyah). (34)
Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadat kepadaku. 35
Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar. (36)
Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)
Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan. (39)
D. Sumber dan Tingkatan Ma'rifat
Sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.
b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.
c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.
d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu. (40)
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.
b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin. (41)
F. Penutup
Dari uraian diatas dapat penulis tarik beberapa kesimpu-lan yaitu :
a. Bahwa ma'rifat al-Ghazali adalah merupakan suatu kondisi yang dicapai dengan serangkaian tahapan yang harus dilalui oleh seseorang.
b. Dalam kondisi ini, seseorang dapat melihat dan mengenal Tuhannya serta mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan, dan seseorang dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan tanpa melalui proses belajar, tetapi melalui cara kasyf.
Demikian bahasan singkat makalah ini, kritik dan saran menuju penyempurnaan makalah ini selalu kami nantikan, semoga bermanfaat.
Ciputat, Sabtu 18 Nopember 1995
Catatan Pustaka:
1 Muhammad Syafiq Ghirbal (Ed.), Al-Mausu'ah al- Arabiayh al- Muyassarah, Dar al-Qalam & Yayasan percetakan dan penerbitan Franklin, Kairo, 1965, hal.1254
2 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, diterjemahkan menjadi Sufi dari Zaman ke Zaman, Pustaka Bandung, 1974, hal. 155
3 Ibid. hal.156
4 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, op.cit, hal.155
5 Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, Macmillan Publishing Company, New York, 1987, hal 541
6 W. Montgomery Watt, Muslim Intelectual A Study of Al-Ghazali, Edinburgh at The University Press, 1963, hal. 19
7 W. MontGomery Watt "Ghazali, Abu Hamid Al-" dalam Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 5, Macmillan Publishing Company, New York & London, hal 541
8 Abdul Qayyum, Letters of Al-Ghazali, diterjemahkan oleh Haidar Baqir, Surat-surat Al-Ghazali, Cet. V, Mizan, Bandung 1993, hal. 1
9 Umar Farrukh, Tarikh al-Fikr al-Araby, Dar al-Ilm Li al-Malayin, Beirut, hal. 485; Pengantar Ahmad Syamsuddin dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Majmu'at Rasail al-Imam al-Ghazali : Al Munqidz min al-Dlalal, Qanun al-Ta'wil, Al Ahadits al-Qudsiyah, Dar al- Kutub al--Ilmiyah, Beirut, Libanon, Cet. I, 1988, hal 5. (Selanjutnya akan disebut al-Ghazali saja)
10 Ibid, hal. 485
11 Thaha Abd al Baqi Surur, op.cit., hal. 19
12 Lihat Thaha Abd al Baqi Surur, op.cit., hal. 19-20. Dalam buku ini dikisahkan penuturan al-Ghazali: "Suatu saat ka-mi dirampok (Barangkali pada saat kepulangannya dari Jurjan, pen.). Para perampok merampas semua yang kami dan membawanya pergi. Akan tetapi, kami selalu mengikuti ke mana mereka pergi. Pemimpin perampok tersebut marah besar dan mengatakan: "Pulang-lah kamu. Kalau tidak kamu akan binasa". Saya jawab: "Saya mohon Anda mengembalikan catatan kuliah saya". Dia bertanya: "Yang manakah catatan kamu?". Saya jawab: "Yang ada dalam bung-kusan itu. Demi untuk mendengarkan, menulis dan mengetahui ilmu itulah saya pergi mengembara". Serta merta Sang pemimpin peram-pok itu tertawa berderai seraya mengejek : "Bagaimana kamu bisa mengetahui ilmunya, padahal buku itu sudah kami rampas dan kamu tidak bisa mengetahuinya lagi." Kemudian dia memerintahkan sebagian anak buahnya mengembalikan bungkusan itu kepada saya. Peristiwa itu menimbilkan pengaruh yang begitu besar dalam jiwa saya...Ketika sampai di Thus, saya segera berkonsentrasi selama tiga tahun hingga saya hafal semua yang saya pelajari. Andaikan dirampok lagi saya tidak akan bingung.
13 Thaha Abd al Baqi Surur, op.cit., hal. 21.; Watt, op.cit, hal. 21
14 Ahmad Syamsuddin dalam al-Ghazali, Majmu'at Rasail al-Imam al-Ghazali : Al Munqidz min al-Dlalal, hal. 5
15 Ibid.
16 Umar Farrukh, op.cit, hal. 486; Ahmad Syamsuddin, op.cit, hal. 6
17 Ahmad Syamsuddin, Ibid, hal. 6
18 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, Damascus, tp, 1934, hal.13. Kritik-kritik al-Ghazali itu secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kepada teolog, al-Ghazali berkomentar bahwa mereka mengasas-kan dalil-dalilnya pada karya para filosof untuk menopang paham teologinya atau mematahkan pendapat lawannya dari kalangan fi-losof maupun teolog lain. Pada masa itu, teologi telah berpadu dengan filsafat. Akibatnya, sebagian orang mengira bahwa kedua-nya sama, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya.(Ibn Khaldun, Al- Muqaddimah, Al-Mathba'ah al--Bahiyyah, Kairo, tt., hal.327) Kebanyakan yang mereka dalami hanya untuk menyatakan kontradiksi-kontradiksi pendapat lawan, dan mengkritiknya dengan postulat-postulat mereka sendiri. Pe-ngenalan Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, tidak akan ter-capai lewat teologi, Malah hampir menjadi penghalang...banyak-nya perdebatan agama dengan cara para teolog dan penyianyiaan waktu dalam detail-detail ilmu mereka, menghalangi manusia yang ingin meraih kesempurnaan ruhaniah. (Abu Hamid al- Ghazali, Al Munqidz min al-Dlalal, op.cit., hal.9. Lihat pula Ihya Ulum al--Din, Jilid I, Al Babi al-Halabi, Kairo, 1334 H, ahl. 36 dan 68)
2. Terhadap filosof, al-Ghazali melancarkan kritik yang cukup keras. Menurutnya ada tiga kekeliruan mendasar para filosof. Pertama, pendapat mereka tentang qadimnya alam semesta. Kedua, ...lanjutan...pendapat para filosof bahwa Allah hanya mengetahui totalitas, tidak mengetahui detail-detail. Ketiga, pengingkaran para filo-sof terhadap kebangkitan fisik di akhirat kelak. Secara leng-kap, di dalam Tahafut al Falasifah, diungkap kritik al-Ghazali terhadap filosof yang seluruhnya berjumlah duapuluh poin. Dalam makalah ini hanya disebut tiga hal.
3. Aliran Bathiniyah atau Ta'limiyah, yaitu madzhab Syiah Isma'iliyah, juga mendapat kritik dari al-Ghazali. Pada masa al-Ghazali, aliran bathiniyah mendapat banyak pengikut. Mereka berpendapat bahwa mereka mendapat mendapat petunjuk dari Imam yang ma'shum (terjaga dari dosa). Pendapat ini ditentang al-Ghazali dengan menyatakan bahwa yang ma'shum hanyalah Nabi Muhammad. Pendapat mereka tentang ilmu batin sama sekali tidak berdasar. Rasulullah bersabda : "Aku menetapkan hukum atas segala sesuatu yang menggejala, sementara yang dirahasiakan dibalik itu, hanya Allah yang mengetahuinya. (Abu Hamid al--Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, op.cit, hal. 24-25) Golongan ini menurut al-Ghazali bukanlah termasuk kelompok yang dapat mencapai kebenaran yang hakiki.
19 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, op.cit., Jilid I, hal. 3-5
20 Mahmud Hamdi Zaqauq, Al-Manhaj al-Falsafi baina al--Ghazali wa Dikart, diterjemahkan dengan judul Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, Pustaka, Bandung, 1981
21 Syed Amir Ali, op.cit., hal. 463
22 Kejadian uzlah-nya itu secara detail diungkap sendiri oleh Al-Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dlalal bab Thuruq al-Shufiyah: "Lalu kualihkan tatapanku ke jalan para sufi. Kuketahui ia tak dapat dilintasi ke ujungnya tanpa ajaran dan amalannya. Dan bahwasanya inti ajarannya terletak pada pengendalian nafsu badaniah dan keberhasilan dalam membersihkan watak-watak jahat dan sifat-sifat keji, hingga hati bersih dari segalanya kecuali Allah. Dan makna pembersihan ini adalah makna dzikir Allah, yakni mengingat Allah dan mencurahkan segala pikiran pada-Nya. Bagiku kini ajarannya lebih mudah ketimbang amalan-amalannya, maka mulailah kupelajari ajaran mereka dari berbagai kitab dan tuturan para syeikh mereka, hingga kuperoleh jalan mereka dengan belajar dan menyimak, dan dengan jelas kulihat bahwa hal-hal paling ganjil pada mereka tak dapat dipelajari, melainkan melalui pengalaman, ektase, dan perubahan batiniyah. Yakinlah aku bahwa kini telah kuperoleh semua pengetahuan tasa-wuf yang bisa dicapai melalui belajar. Selebihnya, tiada jalan kepadanya melainkan dengan mengikuti kehidupan para sufi.
Setelah itu, kulihat diriku sebagaimana adanya. Segenap pamrih duniawi melanda diriku. Bahkan pekerjaanku sebagai gurupun, suatu amalan yang terbaik, tampak sia-sia dan tiada manfaat ukhrawi, manakala kuperhatikan tujuannya aku melakukan semua itu bukan demi Allah, tetapi untuk kemegahan dan reputasi. Ku-sadari bahwa diriku berada di tepi jurang dan nyaris jatuh ke dalam api neraka jika tak segera kuperbaiki jalan--jalanku...Sadar akan ketakberdayaan, seraya mengerahkan segenap kemauan, kucari perlindungan kepada Allah, ibarat orang dilanda kesulitan tanpa berdaya lagi. Allah mengabulkan doaku, dan me-mudahkan aku berpaling dari kemasyhuran, kekayaan, isteri, anak-anak, dan sahabat."
23 A.J. Arberry, Ibid, hal. 103
24 Fuad Ifram Bustami, Munjid al-Thullab, Dar al-Masyriq Sarl, Beirut, 1956, hal. 470
25 Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad binMuhammad, Raudlat al-Thalibin wa 'Umdat al-Salikin, dalam Majmu'at Rasail al-Imam Al-Ghazali, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut, 1986 hal. 36 (Kitab ini selanjutnya akan disebut al-Ghazali (b))
26 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, op.cit. hal.169
27 Al-Ghazali (b) Op.cit, hal. 36
28 Doktor Usman Isa Syahin, Nadzriyyah al-Ma'rifat inda al-Ghazali, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al-Ghazali
29 Dr. Abdul Halim Mahmud, Al-Imam al-Ghazali wa Ma'rifat al-Ghaib, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al--Ghazali
30 op.cit., hal 164
31 Ibid.
32 Dr. Usman Isa Syahin, op.cit, hal. 366-367
33 Al-Ghazali (b) Op.cit, hal. 36
34 Syaikh Dahlan al-Kediri, Siraj al-Thalibin 'ala Syarh Minhaj al-'Abidin li al-Imam al-Ghazali, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hal. 88
35 Al-Ghazali (b), op.cit., hal. 38
36 Ibid. hal. 37
37 Ibid. hal.38
38 Ibid. hal 38
39 Al-Ghazali (b) Op.cit, hal. 36-37
40 Muhammad Jawwad Mughniyah, Ustadz al-Syaikh, Mashdar al-Ma'rifat 'inda al-Imam al-Ghazali, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al-Ghazali
41 Abdul Halim Mahmud, op.cit, hal. 159
Dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam, al-Ghazali adalah nama monumental yang di dalam sosoknya terakumulasi beberapa dimensi. Ia dikenal sebagai Faqih, mutakallim, filosof, sufi dan sekaligus juga tokoh reformasi keagamaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh dan akar kuat dalam sejarah Islam kemudian. (1)
Al Ghazali memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam. Ia menguasai berbagai pengetahuan pada masanya dan mampu mengemukakannya secara menarik seperti tercermin dalam karya-karyanya. (2)
Sebagai faqih, ia berafiliasi pada aliran Syafiiyah dan sebagai teolog, ia berafiliasi pada aliran Asy'ariyah. Di samping menguasai ilmu-ilmu agama, ia juga menguasai filsafat dan logika (3), al-Ghazali adalah salah seorang pemikir yang produktif dalam berkarya serta luas wawasannya. Ia menyusun banyak buku dan risalah meliputi bidang fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, akhlak, logika, filsafat dan tasawuf. (4) Karya al-Ghazali dalam bidang tasawuf cukup banyak. Ihya' 'Ulum al-Din adalah karyanya yang termasuk paling penting. Di dalamnya, ia menguraikan dengan rinci pendapatnya tentang tasawuf dan menghubungkannya dengan fiqh maupun moral agama. Tercatat pula sejumlah karyanya yang lain diantaranya al Munqidz min al- Dlolal, Minhaj al 'Abidin, Kimia' al Sa'adah, al-Risalah al Ladunniyah, Misykat al-Anwar, dan al-Maqashid al-Asma fi Syarkh Asma' Allah al--Husna.
Karena itu, kajian terhadap al-Ghazali selalu menarik, seperti tidak pernah selesai, selalu mengalir dari masa ke masa, dan dapat ditinjau dari berbagai dimensi. Makalah ini hadir dalam kerangka ketertarikan melihat al-Ghazali. Dimana dimensi yang berusaha dikaji adalah dimensi tasawufnya, yang lebih spesifik lagi konsepnya tentang ma'rifat.
B. Figur dan Perjalanan Hidup Al Ghazali Menuju Tasawuf
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lahir di Ghazaleh--sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan --pada tahun 450 H/1058 M, 5 empat setengah abad setelah hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah (6) dan kira-kira bersamaan dengan pengangkatan Sultan Alp Arselan ke singgasana Saljuk. Ia meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima tahun, pada tahun 1111 M. (7) di Tabaran, sebuah kota dekat Thus. (8) Al-Ghazali menghabiskan beberapa waktu pada salah satu sekolah agama di daerahnya dan belajar fiqh serta dasar-dasar ilmu Arab kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzkani pada tahun 465 H/1073. (9) Pada saat berusia kurang dari dua puluh tahun, ia pindah ke Jurjan untuk belajar kepada seorang Imam madzhab Syafi'i, ahli hadits, dan ahli sastra yaitu Imam al-Allamah Abu Nashr al-Isma'ili Al Jurjani (404-477 H). Dari Syekh Ismail, Ghazali menuliskan sejumlah komentar dalam masalah Fiqh. (10) Di Jurjan, ia mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya. (11) Namun, di tempat ini, tampaknya al-Ghazali tidak mendapat keun-tungan rasional dari apa yang ia tulis dan ia dengar. Dia mem-baca dan menulis dengan cepat tanpa memberikan perhatian. (12)
Dari Jurjan, al-Ghazali kembali ke Thus. Di sini, selama tiga tahun ia berkonsentrasi mempelajari ilmu yang dia pelajari di Jurjan sebelumnya sehingga dia hapal semua yang dipelajari-nya. (13) Selanjutnya ia berangkat ke Nisapur, kota di Khurasan yang menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan penting di dunia Islam pada saat itu,dan belajar di sana.
Disana, ia berguru pada salah seorang teolog Asy'ariyah, Abu al-Ma'ali al-Juwaini yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain, guru besar di madrasah al-Nizamiah Nisapur. Mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini antara lain: teologi, fiqh, ushul fiqh, filsafat, logika, sufisme dan ilmu alam. (14)
Fase ini dipandang sebagai fase yang paling memiliki pengaruh dalam sejarah kehidupan al--Ghazali dan starting point keraguan-keraguan yang menimpa jiwa-nya. (15)
Setelah wafatnya Imam Haramain (478 H/1085), al-Ghazali pergi ke Istana Nizamul Muluk di Nisapur. Nizamul Muluk dikenal sebagai orang yang dekat dengan ulama dan para sastrawan. Di sana, Nizamul Muluk kagum pada peguasaan ilmu al-Ghazali dan kemampuannya dalam bertukar pikiran. Kekaguman ini kemudian me-ngantarnya pada posisi sebagai pengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad setelah penunjukan dirinya oleh Nizamul Muluk untuk me-nempati posisi tersebut pada tahun 484 H./1091. (16) Dari penunju-kannnya ini, al-Ghazali memulai sebuah tahap kehidupan barunya di Baghdad. Ia masuk ke kota Baghdad disaat ia menginjak peng-hujung usia mudanya. Di sana ia mendapat keagungan dan kemasyhuran yang meluas.
Dalam fase kehidupannya di Baghdad ini, al-Ghazali melakukan pengembangan dan perluasan ilmunya melalui aktifitas yang intensif dalam penelitian dan pengkajian. Ia mempelajari filsafat secara mendalam dan mengkaji kitab-kitab para filosof terdahulu seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Wujud dari studi intensifnya ini adalah tersusunnya kitab "Maqasid Al-Falasifah" dan karya fenomenalnya dalam bidang filsafat "Tahafut Al-Falasifah" yang merupakan kritik tajamnya terhadap beberapa pendapat bebe-rapa filosof. (17)
Di samping itu, al-Ghazali juga melakukan kajian yang mendalam pada sejumlah pemikiran dalam berbagai bidang yang berkembang pada masanya, yang kemudian melahirkan beberapa kritiknya terhadap empat kelompok aliran pemikiran yang sedang berkembang pada masa itu, yakni teolog, filosof, aliran bathiniyah, dan kaum sufi. (18)
Saat itu, disiplin ilmu-ilmu agama, bahkan keberagamaan itu sendiri, tampaknya telah menjadi sangat formalistis. Agama ketika itu telah diperlakukan sebagai obyek kajian (obyek material) dari beberapa sudut pandang dan untuk mengejar kepentingan-kepentingan profan ketimbang sebagai ajakan ilahi agar manusia dapat mencapai keluhuran budi dan keluhuran ruhani. Ilmu fiqh, Ilmu kalam, dan filsafat adalah kajian eksoteris yang telah kehilangan dimensi 'dalam'-nya, dan menampakkan diri sebagai seni perdebatan--secara sinis, sebagai semata dialekti-ka pemikiran dan akrobatik verbal--dari kaum intelektual yang mengharapkan popularitas dan kedudukan. (19) Dalam pandangan al--Ghazali, kehidupan dan perkembangan ilmu, apalagi ilmu agama, tanpa kandungan nuansa ruhaniah adalah percuma.
Setelah rampung mengkritik para teolog, filosof, dan penganut aliran batiniyah, al-Ghazali mulai mengkaji karya--karya sufi secara mendalam. (20) Akhirnya ia tertimpa krisis psikis yang sangat kronis, karena ia tahu betapa senjangnya antara kehidupan sufi dan jalan yang ditempuhnya saat itu; yang pres-tisius, mencari ketenaran dan kekayaan. (21) Krisis ini berlangsung selama enam bulan dan membuatnya menjadi sangat lemah.
Agaknya, hal tersebut timbul karena ia hendak bertindak jujur terhadap dirinya sendiri. Ia sadar bahwa motivasinya mengajar ilmu-ilmu, pada awalnya, tidak lain adalah hanyalah untuk memperoleh jabatan dan membuatnya terkenal, yang ia sadari betapa rendahnya motivasi itu. Untuk itu ia berusaha melepaskan diri dari sikap yang demikian.
Akibat krisis ini, al-Ghazali meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di perguruan Al-Nizamiyah pada tahun 488 H/1095 M. Ia berhenti mengajar dan ber-uzlah selama sepuluh tahun. (22)
Sejak pengunduran diri hingga saat wafatnya tahun 505 H/1111 M, al-Ghazali menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang sufi, di samping selingan aktifitas belajar dan menyusun sejumlah kitab. (23)
C. Konsep Ma'rifat Menurut al-Ghazali
Dalam pengertian bahasa ma'rifat berarti mengetahui sesuatu apa adanya, 24 atau berarti ilmu yang tidak lagi menerima keraguan. (25)
Dalam pandangan al-Ghazali, sebagaimana ditulis oleh al--Taftazani, ma'rifat adalah mengenal Allah; tidak ada yang wujud selain Allah dan Perbuatan Allah. Menurut al-Ghazali, Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu. Alam semesta adalah ayat (bukti) kekuasaan dan kebesarannya. (26) Ma'rifat adalah ilmu yang tanpa keraguan ketika obyek ilmu itu adalah Allah dan sifatnya. (27) Dalam ungkapan lain, ma'rifat menurut al-Ghazali adalah tauhidnya para shiddiqin yang tidak melihat selain ke-esaan Allah dalam seluruh apa yang tampak, dan menghilangkan hak-hak atas diri mereka. (28)
Ma'rifat adalah kondisi (hal) yang bermuara dari upaya-upaya mujahadat dan menghapus sifat-sifat yang jelek, pemutusan semua hubungan dengan makhluk, serta penghadapan inti/hakikat cita-cita kepada Allah yang dilakukan oleh seseorang. (29) Dalam kondisi ini, maka Allah kemudian hadir dan mengisi hati orang tersebut dan kemudian Allah memenuhi hati orang tersebut dengan rahmat, memancarkan nur-Nya, melapangkan dada, membuka padanya rahasia alam malakut, tersingkaplah dari hati orang tersebut kelengahan sebab kelembutan rahmat-Nya, serta berkilauanlah disana hakikat masalah-masalah ilahiyat. (30)
Para nabi dan wali memperoleh pengetahuan dan dadanya terpenuhi oleh nur dengan cara serupa ini. Mereka memperolehnya tanpa belajar dan membaca, tetapi dengan zuhud di dunia dan membebaskan diri dari belenggunya, mengosongkan hati dari kotoran-kotorannya, serta menghadap secara utuh kepada Allah. Ini bisa terjadi karena barangsiapa keberadaannya untuk Allah, maka Allah juga baginya. (31)
Perjalanan seseorang menuju ma'rifat berangkat dari keyakinan seseorang yang kemudian melalui upaya-upaya yang tidak mudah, seseorang melakukan perjalanan naik/perkembangan positif dalam kondisi internalnya dalam bentuk maqam/stage.
Keyakinan seseorang mengindikasikan kekuatan imannya kepada Allah, hari akhir, surga dan neraka. Setelah keyakinan ini, seseorang naik kepada stage berikutnya yaitu khauf dan raja'.
Berikutnya tahap Shabr, yang menghantar kepada satu tahap diatasnya yaitu mujahadah, dzikr, dan tafakkur. Dzikir mengantarkan kepada tahap uns. Tafakkur menghantarkan kepada sempurnanya ma'rifat. Sempurnanya ma'rifat dan uns menghantar kepada mahabbah. Mahabbah menyebabkan kerelaan sesorang atas segala tindakan yang dicintainya dan percaya akan pertolongannya. Ini adalah tawakkal. (32)
Dalam kaitan dengan ma'rifat, ada dua term yang sering disebutkan oleh al-Ghazali yaitu ma'rifat al-dzat dan ma'rifat al-sifat. Pengertian ma'rifat al-dzat adalah pengetahuan bahwa-sanya Allah adalah dzat maujud, tunggal (fard), esa (wahid), dan sesuatu yang agung yang tegak dengan dirinya serta tidak diserupai oleh sesuatu apapun. Sedangkan ma'rifat al-sifat ber-arti pengetahuan bahwa Allah adalah dzat adalah zat yang hidup (hayy), maha mengetahui ('alim), maha berkuasa(qadir), maha mendengar(sami'), maha melihat (bashir) dan seterusnya dengan sifat-sifat yang lain. (33)
Yang tercakup dalam ma'rifat adalah empat hal yaitu mengetahui diri (nafs), mengetahui tuhan (rabb), mengetahui dunia, dan mengetahui akhirat. Diri diketahui dengan jalan beribadah, merendah (dzull), dan menjadi faqir (iftiqar).
Tuhan diketahui dengan kemulyaan, keagungan, dan kekuasaannya. Ia dapat diketahui juga dengan keberadaan hamba sebagai seorang asing di dunia, keberadaannya sebagai orang yang sedang melaku-kan perjalanan dari dunia ke akhirat, dan orang yang menjauhi syahwat-syahwat kebinatangan (bahimiyyah). (34)
Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala. Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadat kepadaku. 35
Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali--Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar. (36)
Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah. Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. (37) Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq.
Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku". Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia. (38)
Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan. (39)
D. Sumber dan Tingkatan Ma'rifat
Sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.
b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagai utama.
c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.
d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu. (40)
Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :
a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.
b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.
c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin. (41)
F. Penutup
Dari uraian diatas dapat penulis tarik beberapa kesimpu-lan yaitu :
a. Bahwa ma'rifat al-Ghazali adalah merupakan suatu kondisi yang dicapai dengan serangkaian tahapan yang harus dilalui oleh seseorang.
b. Dalam kondisi ini, seseorang dapat melihat dan mengenal Tuhannya serta mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan, dan seseorang dapat memperoleh pengetahuan-pengetahuan tanpa melalui proses belajar, tetapi melalui cara kasyf.
Demikian bahasan singkat makalah ini, kritik dan saran menuju penyempurnaan makalah ini selalu kami nantikan, semoga bermanfaat.
Ciputat, Sabtu 18 Nopember 1995
Catatan Pustaka:
1 Muhammad Syafiq Ghirbal (Ed.), Al-Mausu'ah al- Arabiayh al- Muyassarah, Dar al-Qalam & Yayasan percetakan dan penerbitan Franklin, Kairo, 1965, hal.1254
2 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam, diterjemahkan menjadi Sufi dari Zaman ke Zaman, Pustaka Bandung, 1974, hal. 155
3 Ibid. hal.156
4 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, op.cit, hal.155
5 Mircea Eliade, The Encyclopedia of Religion, Macmillan Publishing Company, New York, 1987, hal 541
6 W. Montgomery Watt, Muslim Intelectual A Study of Al-Ghazali, Edinburgh at The University Press, 1963, hal. 19
7 W. MontGomery Watt "Ghazali, Abu Hamid Al-" dalam Mircea Eliade (Ed.), The Encyclopedia of Religion, Vol 5, Macmillan Publishing Company, New York & London, hal 541
8 Abdul Qayyum, Letters of Al-Ghazali, diterjemahkan oleh Haidar Baqir, Surat-surat Al-Ghazali, Cet. V, Mizan, Bandung 1993, hal. 1
9 Umar Farrukh, Tarikh al-Fikr al-Araby, Dar al-Ilm Li al-Malayin, Beirut, hal. 485; Pengantar Ahmad Syamsuddin dalam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Majmu'at Rasail al-Imam al-Ghazali : Al Munqidz min al-Dlalal, Qanun al-Ta'wil, Al Ahadits al-Qudsiyah, Dar al- Kutub al--Ilmiyah, Beirut, Libanon, Cet. I, 1988, hal 5. (Selanjutnya akan disebut al-Ghazali saja)
10 Ibid, hal. 485
11 Thaha Abd al Baqi Surur, op.cit., hal. 19
12 Lihat Thaha Abd al Baqi Surur, op.cit., hal. 19-20. Dalam buku ini dikisahkan penuturan al-Ghazali: "Suatu saat ka-mi dirampok (Barangkali pada saat kepulangannya dari Jurjan, pen.). Para perampok merampas semua yang kami dan membawanya pergi. Akan tetapi, kami selalu mengikuti ke mana mereka pergi. Pemimpin perampok tersebut marah besar dan mengatakan: "Pulang-lah kamu. Kalau tidak kamu akan binasa". Saya jawab: "Saya mohon Anda mengembalikan catatan kuliah saya". Dia bertanya: "Yang manakah catatan kamu?". Saya jawab: "Yang ada dalam bung-kusan itu. Demi untuk mendengarkan, menulis dan mengetahui ilmu itulah saya pergi mengembara". Serta merta Sang pemimpin peram-pok itu tertawa berderai seraya mengejek : "Bagaimana kamu bisa mengetahui ilmunya, padahal buku itu sudah kami rampas dan kamu tidak bisa mengetahuinya lagi." Kemudian dia memerintahkan sebagian anak buahnya mengembalikan bungkusan itu kepada saya. Peristiwa itu menimbilkan pengaruh yang begitu besar dalam jiwa saya...Ketika sampai di Thus, saya segera berkonsentrasi selama tiga tahun hingga saya hafal semua yang saya pelajari. Andaikan dirampok lagi saya tidak akan bingung.
13 Thaha Abd al Baqi Surur, op.cit., hal. 21.; Watt, op.cit, hal. 21
14 Ahmad Syamsuddin dalam al-Ghazali, Majmu'at Rasail al-Imam al-Ghazali : Al Munqidz min al-Dlalal, hal. 5
15 Ibid.
16 Umar Farrukh, op.cit, hal. 486; Ahmad Syamsuddin, op.cit, hal. 6
17 Ahmad Syamsuddin, Ibid, hal. 6
18 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, Damascus, tp, 1934, hal.13. Kritik-kritik al-Ghazali itu secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kepada teolog, al-Ghazali berkomentar bahwa mereka mengasas-kan dalil-dalilnya pada karya para filosof untuk menopang paham teologinya atau mematahkan pendapat lawannya dari kalangan fi-losof maupun teolog lain. Pada masa itu, teologi telah berpadu dengan filsafat. Akibatnya, sebagian orang mengira bahwa kedua-nya sama, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya.(Ibn Khaldun, Al- Muqaddimah, Al-Mathba'ah al--Bahiyyah, Kairo, tt., hal.327) Kebanyakan yang mereka dalami hanya untuk menyatakan kontradiksi-kontradiksi pendapat lawan, dan mengkritiknya dengan postulat-postulat mereka sendiri. Pe-ngenalan Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya, tidak akan ter-capai lewat teologi, Malah hampir menjadi penghalang...banyak-nya perdebatan agama dengan cara para teolog dan penyianyiaan waktu dalam detail-detail ilmu mereka, menghalangi manusia yang ingin meraih kesempurnaan ruhaniah. (Abu Hamid al- Ghazali, Al Munqidz min al-Dlalal, op.cit., hal.9. Lihat pula Ihya Ulum al--Din, Jilid I, Al Babi al-Halabi, Kairo, 1334 H, ahl. 36 dan 68)
2. Terhadap filosof, al-Ghazali melancarkan kritik yang cukup keras. Menurutnya ada tiga kekeliruan mendasar para filosof. Pertama, pendapat mereka tentang qadimnya alam semesta. Kedua, ...lanjutan...pendapat para filosof bahwa Allah hanya mengetahui totalitas, tidak mengetahui detail-detail. Ketiga, pengingkaran para filo-sof terhadap kebangkitan fisik di akhirat kelak. Secara leng-kap, di dalam Tahafut al Falasifah, diungkap kritik al-Ghazali terhadap filosof yang seluruhnya berjumlah duapuluh poin. Dalam makalah ini hanya disebut tiga hal.
3. Aliran Bathiniyah atau Ta'limiyah, yaitu madzhab Syiah Isma'iliyah, juga mendapat kritik dari al-Ghazali. Pada masa al-Ghazali, aliran bathiniyah mendapat banyak pengikut. Mereka berpendapat bahwa mereka mendapat mendapat petunjuk dari Imam yang ma'shum (terjaga dari dosa). Pendapat ini ditentang al-Ghazali dengan menyatakan bahwa yang ma'shum hanyalah Nabi Muhammad. Pendapat mereka tentang ilmu batin sama sekali tidak berdasar. Rasulullah bersabda : "Aku menetapkan hukum atas segala sesuatu yang menggejala, sementara yang dirahasiakan dibalik itu, hanya Allah yang mengetahuinya. (Abu Hamid al--Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, op.cit, hal. 24-25) Golongan ini menurut al-Ghazali bukanlah termasuk kelompok yang dapat mencapai kebenaran yang hakiki.
19 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulum al-Din, op.cit., Jilid I, hal. 3-5
20 Mahmud Hamdi Zaqauq, Al-Manhaj al-Falsafi baina al--Ghazali wa Dikart, diterjemahkan dengan judul Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, Pustaka, Bandung, 1981
21 Syed Amir Ali, op.cit., hal. 463
22 Kejadian uzlah-nya itu secara detail diungkap sendiri oleh Al-Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dlalal bab Thuruq al-Shufiyah: "Lalu kualihkan tatapanku ke jalan para sufi. Kuketahui ia tak dapat dilintasi ke ujungnya tanpa ajaran dan amalannya. Dan bahwasanya inti ajarannya terletak pada pengendalian nafsu badaniah dan keberhasilan dalam membersihkan watak-watak jahat dan sifat-sifat keji, hingga hati bersih dari segalanya kecuali Allah. Dan makna pembersihan ini adalah makna dzikir Allah, yakni mengingat Allah dan mencurahkan segala pikiran pada-Nya. Bagiku kini ajarannya lebih mudah ketimbang amalan-amalannya, maka mulailah kupelajari ajaran mereka dari berbagai kitab dan tuturan para syeikh mereka, hingga kuperoleh jalan mereka dengan belajar dan menyimak, dan dengan jelas kulihat bahwa hal-hal paling ganjil pada mereka tak dapat dipelajari, melainkan melalui pengalaman, ektase, dan perubahan batiniyah. Yakinlah aku bahwa kini telah kuperoleh semua pengetahuan tasa-wuf yang bisa dicapai melalui belajar. Selebihnya, tiada jalan kepadanya melainkan dengan mengikuti kehidupan para sufi.
Setelah itu, kulihat diriku sebagaimana adanya. Segenap pamrih duniawi melanda diriku. Bahkan pekerjaanku sebagai gurupun, suatu amalan yang terbaik, tampak sia-sia dan tiada manfaat ukhrawi, manakala kuperhatikan tujuannya aku melakukan semua itu bukan demi Allah, tetapi untuk kemegahan dan reputasi. Ku-sadari bahwa diriku berada di tepi jurang dan nyaris jatuh ke dalam api neraka jika tak segera kuperbaiki jalan--jalanku...Sadar akan ketakberdayaan, seraya mengerahkan segenap kemauan, kucari perlindungan kepada Allah, ibarat orang dilanda kesulitan tanpa berdaya lagi. Allah mengabulkan doaku, dan me-mudahkan aku berpaling dari kemasyhuran, kekayaan, isteri, anak-anak, dan sahabat."
23 A.J. Arberry, Ibid, hal. 103
24 Fuad Ifram Bustami, Munjid al-Thullab, Dar al-Masyriq Sarl, Beirut, 1956, hal. 470
25 Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad binMuhammad, Raudlat al-Thalibin wa 'Umdat al-Salikin, dalam Majmu'at Rasail al-Imam Al-Ghazali, Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Beirut, 1986 hal. 36 (Kitab ini selanjutnya akan disebut al-Ghazali (b))
26 Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, op.cit. hal.169
27 Al-Ghazali (b) Op.cit, hal. 36
28 Doktor Usman Isa Syahin, Nadzriyyah al-Ma'rifat inda al-Ghazali, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al-Ghazali
29 Dr. Abdul Halim Mahmud, Al-Imam al-Ghazali wa Ma'rifat al-Ghaib, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al--Ghazali
30 op.cit., hal 164
31 Ibid.
32 Dr. Usman Isa Syahin, op.cit, hal. 366-367
33 Al-Ghazali (b) Op.cit, hal. 36
34 Syaikh Dahlan al-Kediri, Siraj al-Thalibin 'ala Syarh Minhaj al-'Abidin li al-Imam al-Ghazali, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, tt, hal. 88
35 Al-Ghazali (b), op.cit., hal. 38
36 Ibid. hal. 37
37 Ibid. hal.38
38 Ibid. hal 38
39 Al-Ghazali (b) Op.cit, hal. 36-37
40 Muhammad Jawwad Mughniyah, Ustadz al-Syaikh, Mashdar al-Ma'rifat 'inda al-Imam al-Ghazali, Tulisan dalam menyambut haflah dzikra mi'awiyah al-Ghazali
41 Abdul Halim Mahmud, op.cit, hal. 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar