Visi & Misi

Visi Kabupaten Tasikmalaya
"TASIKMALAYA YANG RELIGIUS/ISLAMI, SEBAGAI KABUPATEN YANG MAJU DAN SEJAHTERA, SERTA KOMPETITIF DALAM BIDANG AGRIBISNIS DI JAWA BARAT TAHUN 2010"
Misi Kabupaten Tasikmalaya
- MEWUJUDKAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERIMAN DAN BERTAQWA SERTA BERAKHLAQUL KARIMAH
- MEWUJUDKAN SUMBER DAYA MANUSIA YANG BERKUALITAS DAN MANDIRI.
- MEWUJUDKAN KEPEMERINTAHAN YANG BAIK DAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH
- MEWUJUDKAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH MELALUI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DENGAN DIDUKUNG OLEH SEKTOR LAIN
- MEWUJUDKAN TATA RUANG DAN PENGELOLAAN PERTANAHAN YANG BERKESINAMBUNGAN BERWAWASAN LINGKUNGAN
1. Arti Lambang Kabupaten Tasikmalaya

- Perisai bersudut lima berwarna putih menunjukan sifat gotong royong yang berintikan Pancasila, melambangkan kepribadian, adat istiadat,kepercayaan dan kebudayaan rakyat daerah, sejak dulu sekarang dan kemudian.
- Gunung melukiskan Gunung Galunggung berwarna biru yang melambangkan ciri tasikmalaya.
- Simbol Industri melambangkan sebagian dari sumber penghidupan rakyat beserta kekayaan alam di daerah Kabupaten Tasikmalaya.
- Tiga Buah Sungai melambangkan pemberi sumber kehidupan rakyat.
- Sawah berwarna hijau terdiri dari 17 petak, melambangkan kesuburan/kemakmuran rakyat yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
- Sawah berwarna kuning melambangkan sebagian penghidupan rakyat yang didapat dari kerajinan tangan.
- Bambu Runcing terbuat dari haur kuning melambangkan sejarah perjuangan rakyat daerah Tasikmalaya dalam mengusir kaum penjajah.
- Pita Kuning Melambai bertuliskan "Sukapura Ngadaun Ngora" melambangkan kemajuan yang abadi.
- Warna Putih Mengkilat melambangkan tekad suci, warna hitam berarti kekal dan abadi, warna kuning melambangkan keadaan yang gilang gemilang (keemasan), warna hijau melambangkan kehidupan yang tertinggi, adil dan subur makmur sedangkan warna biru berarti kesetiaan dan kejujuran.
2. Sejarah Singkat Kabupaten Tasikmalaya

Dimulai pada abad ke VII sampai abad ke XII di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Tasikmalaya, diketahui adanya suatu bentuk Pemerintahan Kebataraan dengan pusat pemerintahannya di sekitar Galunggung, dengan kekuasaan mengabisheka raja-raja (dari Kerajaan Galuh) atau dengan kata lain raja baru dianggap syah bila mendapat persetujuan Batara yang bertahta di Galunggung. Batara atau sesepuh yang memerintah pada masa abad tersebut adalah sang Batara Semplakwaja, Batara Kuncung Putih, Batara Kawindu, Batara Wastuhayu, dan Batari Hyang yang pada masa pemerintahannya mengalami perubahan bentuk dari kebataraan menjadi kerajaan.
Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.
Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.
Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam.
Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi: Mataram, banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”.
Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berrdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung.
Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya.
Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung.
Kerajaan ini bernama Kerajaan Galunggung yang berdiri pada tanggal 13 Bhadrapada 1033 Saka atau 21 Agustus 1111 dengan penguasa pertamanya yaitu Batari Hyang, berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang ditemukan di bukit Geger Hanjuang, Desa Linggawangi, Kecamatan Leuwisari, Tasikmalaya. Dari Sang Batari inilah mengemuka ajarannya yang dikenal sebagai Sang Hyang Siksakanda ng Karesian. Ajarannya ini masih dijadikan ajaran resmi pada jaman Prabu Siliwangi (1482-1521 M) yang bertahta di Pakuan Pajajaran. Kerajaan Galunggung ini bertahan sampai 6 raja berikutnya yang masih keturunan Batari Hyang.
Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan di Sukakerta dengan Ibukota di Dayeuh Tengah (sekarang termasuk dalam Kecamatan Salopa, Tasikmalaya), yang merupakan salah satu daerah bawahan dari Kerajaan Pajajaran. Penguasa pertama adalah Sri Gading Anteg yang masa hidupnya sejaman dengan Prabu Siliwangi. Dalem Sukakerta sebagai penerus tahta diperkirakan sejaman dengan Prabu Surawisesa (1521-1535 M) Raja Pajajaran yang menggantikan Prabu Siliwangi.
Pada masa pemerintahan Prabu Surawisesa kedudukan Pajajaran sudah mulai terdesak oleh gerakan kerajaan Islam yang dipelopori oleh Cirebon dan Demak. Sunan Gunung Jati sejak tahun 1528 berkeliling ke seluruh wilayah tanah Sunda untuk mengajarkan Agama Islam. Ketika Pajajaran mulai lemah, daerah-daerah kekuasaannya terutama yang terletak di bagian timur berusaha melepaskan diri. Mungkin sekali Dalem Sukakerta atau Dalem Sentawoan sudah menjadi penguasa Sukakerta yang merdeka, lepas dari Pajajaran. Tidak mustahil pula kedua penguasa itu sudah masuk Islam.
Periode selanjutnya adalah pemerintahan di Sukapura yang didahului oleh masa pergolakan di wilayah Priangan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun. Munculnya pergolakan ini sebagai akibat persaingan tiga kekuatan besar di Pulau Jawa pada awal abad XVII Masehi: Mataram, banten, dan VOC yang berkedudukan di Batavia. Wirawangsa sebagai penguasa Sukakerta kemudian diangkat menjadi Bupati daerah Sukapura, dengan gelar Wiradadaha I, sebagai hadiah dari Sultan Agung Mataram atas jasa-jasanya membasmi pemberontakan Dipati Ukur. Ibukota negeri yang awalnya di Dayeuh Tengah, kemudian dipindah ke Leuwiloa Sukaraja dan “negara” disebut “Sukapura”.
Pada masa pemerintahan R.T. Surialaga (1813-1814) ibukota Kabupaten Sukapura dipindahkan ke Tasikmalaya. Kemudian pada masa pemerintahan Wiradadaha VIII ibukota dipindahkan ke Manonjaya (1832). Perpindahan ibukota ini dengan alasan untuk memperkuat benteng-benteng pertahanan Belanda dalam menghadapi Diponegoro. Pada tanggal 1 Oktober 1901 ibukota Sukapura dipindahkan kembali ke Tasikmalaya. Latar belakang pemindahan ini cenderung berrdasarkan alasan ekonomis bagi kepentingan Belanda. Pada waktu itu daerah Galunggung yang subur menjadi penghasil kopi dan nila. Sebelum diekspor melalui Batavia terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat, biasanya di ibukota daerah. Letak Manonjaya kurang memenuhi untuk dijadikan tempat pengumpulan hasil-hasil perkebunan yang ada di Galunggung.
Nama Kabupaten Sukapura pada tahun 1913 diganti namanya menjadi Kabupaten Tasikmalaya dengan R.A.A Wiratanuningrat (1908-1937) sebagai Bupatinya.
Tanggal 21 Agustus 1111 Masehi dijadikan Hari Jadi Tasikmalaya berdasarkan Prasasti Geger Hanjuang yang dibuat sebagai tanda upacara pentasbihan atau penobatan Batari Hyang sebagai Penguasa di Galunggung.
Demografi Kondisi Demografis Kabupaten Tasikmalaya
Kependudukan
Pencatatan penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik bersumber dari 3 hal:
1. Survei Kependudukan
2. Sensus Penduduk
3. Registrasi Penduduk
Survei Kependudukan , dilakukaan kapan saja dan dimana saja di wilayah Republik Indonesia, atau Domestik di wilayah kabupaten Tasikmalaya. Hasilnya merupakan laporan Kependudukan.
Sensus Penduduk, dilakukan hanya 10 tahun sekali pada tahun-tahun yang bilangan tahunnya berakhiran angka 0. Cara ini yang dapat diandalkan karena dasar pelaksanaannya adalah undang undang dasar negara dan berbagai peraturan pemerintah.
Registrasi Penduduk, dilakukan pada tingkat Desa/Kelurahan oleh aparat desa/kelurahan pada setiap waktu. Dari hasil inilah Badan Pusat statistik membuat laporan kependudukan bulanan dan setengah tahunan yang diantaranya ditampilkan dalam bentuk tabel-tabel.
Pencatatan penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik bersumber dari 3 hal:
1. Survei Kependudukan
2. Sensus Penduduk
3. Registrasi Penduduk
Survei Kependudukan , dilakukaan kapan saja dan dimana saja di wilayah Republik Indonesia, atau Domestik di wilayah kabupaten Tasikmalaya. Hasilnya merupakan laporan Kependudukan.
Sensus Penduduk, dilakukan hanya 10 tahun sekali pada tahun-tahun yang bilangan tahunnya berakhiran angka 0. Cara ini yang dapat diandalkan karena dasar pelaksanaannya adalah undang undang dasar negara dan berbagai peraturan pemerintah.
Registrasi Penduduk, dilakukan pada tingkat Desa/Kelurahan oleh aparat desa/kelurahan pada setiap waktu. Dari hasil inilah Badan Pusat statistik membuat laporan kependudukan bulanan dan setengah tahunan yang diantaranya ditampilkan dalam bentuk tabel-tabel.
Sebagian besar pekerjaan penduduk di kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2005 adalah pada lapangan usaha pertanian dan perdagangan.
2 komentar:
bagus,,, saya suka terus kembangkan ya,,,
Insya Allah
Posting Komentar