WELCOME TO MY MIKRO BLOGGING (ERI NURYAMAN), I HOPE WE CAN FIND NEW AND MORE KNOWLEDGE

Senin, 03 Januari 2011

Sosok Syaikh Abdul Muhyi dan Sejarahnya

Abdul Muhyi, Syeikh Haji (Mataram, Lombok, 1071 H/1650 M-Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat 1151 H/1730 M). Ulama tarekat Syattariah, penyebar agama Islam di Jawa Barat bagian selatan. Karena dipandang sebagai wali, makmnya di Pamijahan di keramatkan orang.

Saat ini tidak banyak yang mengetahui darimana sesungguhnya Syekh Abdul Muhyi berasal. Tapi banyak yang menyatakan Beliau berasal dari daerah setempat (Pamijahan, Karangnunggal, Tasikmalaya) atau dari Jawa. Padahal menurut seorang murid Al-Idrisiyyah yang pernah didatangi ruhani Beliau, perawakan Beliau tidak seperti orang Jawa. Beliau berambut keriting dan berkulit hitam. Salah satu keturunan Beliau adalah Ajengan Khoyr Afandi (alm., pimp. Ponpes Miftahul Huda, Manonjaya Tasikmalaya), yang kulitnya mengindikasikan hal tersebut. Satu lagi bukti kuat yang saya peroleh adalah ketika saya membaca buku sejarah Banten. Di buku itu tertulis bahwa Syekh Abdul Muhyi berasal dari Saparua (Ambon).

Syekh Abdul Muhyi hidup pada masa kejayaan Sultan Ageng Tirtayasa. Dan pernah terjadi pertemuan penting saat Syekh Yusuf Makasar (Mufti Banten waktu itu) menyingkir dari Banten hingga pesisir Selatan Jawa Barat. Terakhir sebelum diberitakan bahwa istri dan keluarganya ditangkap oleh Belanda dan ia menyerahkan diri ke Cirebon, Syekh Yusuf sedang berada di daerah Pamijahan bersama Syekh Abdul Muhyi. Di sini (di sela-sela gerilya menghadapi tentara Belanda yang didukung oleh Sultan Haji) Syekh Yusuf sempat memberikan kenang-kenangan sebuah kitab tasawuf kepada Syekh Abdul Muhyi Pamijahan. Ada dua alasan mengapa keduanya begitu akrab. Pertama, satu predikat sebagai Ulama Tarekat. Keduanya pernah menimba ilmu Tarekat hingga ke negeri Aceh, yang waktu itu Ulama yang termasyhur adalah Syekh Nuruddin ar-Raniry dan Syekh Abdur Rauf Sinkly. Kemudian dikenal ajarannya sebagai ajaran Martabat Tujuh. Kedua, mereka adalah orang pendatang di tanah Jawa yang berasal dari wilayah Timur Indonesia.

Saya teringat saat mengunjungi situs Wali Allah yang berpangkat Awtad ini kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Saat itu saya masih senang berjalan ke sana ke mari untuk mencari wawasan dan pengetahuan tentang kondisi umat Islam di berbagai daerah khususnya tempat yang menjadi tempat tinggal atau singgah seorang Wali penyebar Dienul Islam.

Dalam perjalanan menuju gua tempat khalwat beliau, saya masih ingat betul ada tempat di mana ada larangan merokok. Anehnya, larangan itu hanya sejauh sekitar 50 meter saja. Kata orang setempat, kalau ada yang melanggar akan terjadi sesuatu yang kejadian yang tidak menguntungkan baginya. Setelah bertanya-tanya akhirnya dapatlah informasi bahwa sebab musabab adanya larangan merokok di wilayah tertentu itu, karena dahulu saat Syekh Abdul Muhyi dibimbing oleh Syekh Abdul Qadir al-Jaelani Qs. secara ruhani, di tempat itu ia merokok. Tiba-tiba perjalanannya menjadi gelap, dan ia menjadi terhijab (terhalang) dari bimbingan ruhani Gurunya tersebut. Dalam istilah Tarekat dikatakan bahwa ia telah terputus ikatan Rabithah dengan Mursyidnya. Sebelumnya ke manapun ia menghadap, selalu muncul bayangan ruhaniyah Gurunya membimbing jalan hidupnya. Akhirnya setelah ia mengintrospeksi diri, ia dapatkan jawabannya. Ya itulah, karena merokok.

Dari sini kita dapat mengambil pelajaran bahwa ruhani yang suci tidak suka kepada hal-hal yang buruk. Diistimewakan bagi para pengikut Tarekat yang mengambil tali silsilah kepada Syekh Abdul Qadir Jaelani Qs ini. Beliau memutuskan hubungan dengan murid yang ia cintai karena masalah ini.

Perkara merokok bisa menjadi hal yang biasa (remeh), dan bisa menjadi hal yang luar biasa bagi orang tertentu yang mengehndaki bimbingan ruhaniyah yang lurus. Dan, anehnya sisi ajaran mengenai pantangan (larangan) ini seolah tak menggema di lubuk hati pengagum Syekh Abdul Qadir Jaelani. Lebih-lebih kuncen atau orang-orang yang mengaku keturunan dari Wali Awtad ini. Bahkan, pada saat itu (mungkin saat ini) banyak yang belum memahami hikmah adanya larangan merokok di situs Pamijahan yang tiap hari dikunjungi oleh ratusan hingga ribuan orang dari pelbagai daerah.

Situs Wali itu hanya dilihat dari segi barokah duniawi semata, tapi tidak menyentuh persoalan mendasar, yakni kecenderungan kepada akhirat. Orang-orang di sekitar hanya mengambil 'keuntungan' dan menganggap hal itu sebagai barokah. Tapi ajaran larangan merokok sebagai kebersihan lahir batin tidak menjadi tekanan. Orang-orang sekitar tempat ziarah tetap bebas merokok, tak menghiraukan nilai-nilai kesucian ajaran Kewalian Syekh Pamijahan.

Ada sebuah kisah lagi yang saya ingat beberapa puluh tahun yang lalu, pernah terjadi peristiwa 'kunjungan ruhani' Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan Qs. pada diri seorang murid. Ketika itu si murid sedang diuji dengan sakitn istrinya yang semakin parah sehingga menyebabkan ajalnya. Saat Syekh al-Akbar akan berbicara melalui lidah seorang murid untuk memberikan petuah-petuah kami sedang berkumpul bersama (berjama'ah). Tiba-tiba salah seorang teman datang, menghampiri kami. Begitu pintu diketuk, kami jawab salamnya. Setelah itu kami menunggu-nunggu wejangan dari Syekh al-Akbar, tapi tidak muncul-muncul.

Selesai pertemuan itu, saya bertanya mengapa Syekh al-Akbar tidak jadi berbicara? Jawab si murid yang akan didatangi ruhani tersebut, 'Sebenarnya Beliau sudah datang dan siap untuk memberikan pencerahan kepada kita, tapi Beliau pergi lagi karena ada orang yang masih belum bersih (masih merokok, red) datang. Akhirnya Beliau menghindar, karena ruhani suci itu tidak bisa menyatu dengan yang kotor (najis)'. Sebab telah dimaklum bahwa rokok itu berasal dari kencing iblis.

Tidak ada hubungan lahir yang bersambung antara Syekh al-Akbar dan Syekh Abdul Muhyi, karena mereka bukan sezaman. Juga tidak ada pertemuan tertentu keduanya untuk mengungkapkan bahwa merokok itu adalah hijab besar jasmaniyah dan ruhaniyah. Tapi, dalam dunia Kewalian baik Syekh al-Akbar mupun Syekh Abdul Qadir Jaelani keduanya bukanlah dua kubu yang berbeda. Tapi satu atap dalam sistem atau tatanan Birokrasi Ilahiyyah. Yang membedakan hanyalah masa. Dan yang menyamakan adalah kesatuan konsep kepemimpinan Ilahiyyah. Dan itu dibuktikan pada sisi sejarah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan mengenai adanya larangan merokok.

Abdul Muhyi datang dari keluarga bangsawan. Ayahnya, Sembah Lebe Warta Kusumah, adalah keturunan raja Galuh (Pajajaran). Abdul Muhyi dibesarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama yang berada di Ampel. Dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh, untuk melanjutkan pendidikannya dan berguru pada Syeikh Adur Rauf Singkel, seorang ulama sufi dan guru tarekat Syattariah. Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama Aceh yang berupaya mendamaikan ajaran martabat alam tujuh -yang dikenal di Aceh sebagai paham wahdatul wujud atau wujudiyyah (panteisme dalam Islam)-dengan paham sunah. Meskipun begitu Syeikh Abdur Rauf Singkel tetap menolak paham wujudiyyah yang menganggap adanya penyatuan antara Tuhan dan hamba. Ajaran inilah yang kemudian dibawa Syeikh Abdul Muhyi ke Jawa.

Masa studinya di Aceh dihabiskannya dalam tempo enam tahun (1090 H/1669 M-1096 H/1675 M). Setelah itu bersama teman-teman seperguruannya, ia dibawa oleh gurunya ke Baghdad dan kemudian ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu pengetahuan agama dan menunaikan ibadah haji. Setelah menunaikan ibadah haji, Syeikh Haji Abdul Muhyi kembali ke Ampel. Setelah menikah, ia meninggalkan Ampel dan mulai melakukan pengembaraan ke arah barat bersama isteri dan orang tuanya. Mereka kemudian tiba di Darma, termasuk daerah Kuningan, Jawa Barat. Atas permintaan masyarakat muslim setempat, ia menetap di sana selama tujuh tahun (1678-1685) untuk mendidik masyarakat dengan ajaran Islam. Setelah itu ia kembali mengembara dan sampai ke daerah Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat. Ia mentap di Pameungpeuk slama 1 tahun (1685-1686) untuk menyebarkan agama Islam di kalangan penduduk yang ketika itu masih menganut agama Hindu. Pada tahun 1986 ayahnya meninggal dunia dan dimakamkan di kampung Dukuh, di tepi Kali Cikangan. Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya, ia melanjutkan pengembaraannya hingga ke daerah Batuwangi. Ia bermukim beberapa waktu di sana atas permintaan masyarakat. Setelah itu ia ke Lebaksiuh, tidak jauh dari Batuwangi. Lagi-lagi atas permintaan masyarakat ia bermukim di sana selama 4 tahun (1686-1690). Pada masa empat tahun itu ia berjasa mengislamkan penduduk yang sebelumnya menganut agama Hindu. Menurut cerita rakyat, keberhasilannya dalam melakukan dakwah Islam terutama karena kekeramatannya yang mampu mengalahkan aliran hitam. Di sini Syeikh Haji Abdul Muhyi mendirikan masjid tempat ia memberikan pengajian untuk mendidik para kader yang dapat membantunya menyebarkan agama Islam lebih jauh ke bagian selatan Jawa Barat. Setelah empat tahun menetap di Lebaksiuh, ia lebih memilih bermukim di dalam gua yang sekarang dikenal sebagai Gua Safar Wadi di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Menurut salah satu tradisi lisan, kehadirannya di Gua Safar Wadi itu adalah atas undangan bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara Karang di Pamijahan. Di sana terdapat sebuah gua tempat pertapaan orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syeikh Haji Abdul Muhyi memenangkan pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu. Ia menjadikan gua itu sebagai tempat pemukiman bagi keluarga dan pengikutnya, di samping tempat ia memberikan pengajian agama dan mendidik kader-kader dakhwah Islam. Gua tersebut sangat sesuai baginya dan para pengikutnya untuk melakukan semadi menurut ajaran tarekat Syattariah. Sekarang gua tersebut banyak diziarahi orang sebagai tempat mendapatkan “berkah”. Syeikh Haji Abdul Muhyi juga bertindak sebagai guru agama Islam bagi keluarga bupati Sukapura, bupati Wiradadaha IV, R. Subamanggala.

Setelah sekian lama bermukim dan mendidik para santrinya di dalam gua, ia dan para pengikutnya berangkat menyebarkan agama Islam di kampung Bojong (sekitar 6 km dari gua, sekarang lebih dikenal sebagai kampung Bengkok) sambil sesekali kembali ke Gua Safar Wadi. Sekitar 2 km dari Bojong ia mendirikan perkampungan baru yang disebut kampung Safar Wadi. Di kampung itu ia mendirikan masjid (sekarang menjadi kompleks Masjid Agung Pamijahan) sebagai tempat beribadah dan pusat pendidikan Islam. Di samping masjid ia mendirikan rumah tinggalnya. Sementara itu, para pengikutnya aktif menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat bagian selatan. Melalui para pengikutnya, namanya terkenal ke berbagai penjuru jawa Barat.

Menurut tradisi lisan, Syeikh Maulana Mansur berulang kali datang ke Pamijahan untuk berdialog dengan Syeikh Haji Abdul Muhyi. Syeikh Maulana Mansur adalah putra Sultan Abdul Fattah Tirtayasa dari kesultanan Banten. Sultan Tirtayasa sendiri adalah keturunan Maulana Hasanuddin, sultan pertama kesultanan Banten yang juga putra dari Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati, salah seorang Wali Songo.
 
Berita tentang ketinggian ilmunya itu sampai juga ke telinga sultan Mataram. Sultan kemudian mengundang Syeikh Haji Abdul Muhyi untuk menjadi guru bagi putra-putrinya di istana Mataram. Sultan Mataram Paku Buwono II (1727-1749) ketika itu bahkan menjanjikan akan memberi piagam yang memerdekakan daerah Pamijahan dan menjadikannya daerah “perdikan”, daerah yang dibebaskan dari pembayaran pajak. Undangan sultan Mataram itu tidak pernah dilaksanakannya, karena pada tahun 1151 H (1730 M) Syeikh Haji Abdul Muhyi meninggal dunia karena sakit di Pamijahan. Berdasarkan keputusan sultan Mataram itulah, oleh pemerintah kolonial Belanda, melalui keputusan residen Priangan, Pamijahan sejak tahun 1899 dijadikan daerah “pasidkah”, daerah yang dikuasai secara turun temurun dan bebas memungut zakat, pajak, dan pungutan lain untuk keperluan daerah itu sendiri.

Makam Syeikh Haji Abdul Muhyi yang terdapat di Pamijahan diurus dan dikuasai oleh keturunannya. Makamnya itu ramai diziarai orang sampai sekarang karena dikeramatkan. Sampai saat ini desa Pamijahan dipimpin oleh seorang khalifah, jabatan yang diwariskan secara turun-temurun, yang juga merangkap sebagai juru kunci makam dan mendapat penghasilan sedekah dari para peziarah.

Karya tulis Syeikh Haji Abdul Muhyi yang asli tidak ditemukan lagi. Akan tetapi ajarannya disalin oleh murid-muridnya, di antaranya oleh putra sulungnya sendiri, Syeikh Haji Muhyiddin yang menjadi tokoh tarekat Syattariah sepeninggal ayahnya. Syeikh Haji Muhyiddin menikah dengan seorang putri Cirebon dan lama menetap di Cirebon. Ajaran Syeikh Haji Abdul Muhyi versi Syeikh Haji Muhyiddin ini ditulis dengan huruf pegon (Arab Jawi) dengan menggunakan bahasa Jawa (baru) pesisir. Naskah versi Syeikh Haji Muhyiddin itu berjudul Martabat Kang Pitutu (Martabat Alam Tujuh) dan sekarang terdapat di museum Belanda, dengan nomor katalog LOr. 7465, LOr. 7527, dan LOr. 7705.

Ajaran “martabat alam tujuh” ini berawal dari ajaran tasawuf wahdatul wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan oleh Ibnu Arabi. Tidak begitu jelas kapan ajaran ini pertama kali masuk ke Indonesia. Yang jelas, sebelum Syeikh Haji Abdul Muhyi, beberapa ulama sufi Indonesia sudah ada yang menulis ajaran ini, seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (tokoh sufi, w. 1630), dan Abdur Rauf Singkel, dengan variasi masing-masing. Oleh karena itu sangat lemah untuk mengatakan bahwa karya Syeikh Haji Abdul Muhyi yang berjudul Martabat Kang Pitutu ini sebagai karya orsinilnya, tetapi besar kemungkinan berupa saduran dari karya yang sudah terdapat sebelumnya dengan penafsiran tertentu darinya.

Menurut ajaran “martabat alam tujuh”, seperti yang tertuang dalam Martabat kang Pitutu, wujud yang hakiki mempunyai tujuh martabat, yaitu (1) Ahadiyyah, hakikat sejati Allah Swt., (2) Wahdah, hakikat Muhammad Saw., (3) Wahidiyyah, hakikat Adam As., (4) alam arwah, hakikat nyawa, (5) alam misal, hakikat segala bentuk, (6) alam ajsam, hakikat tubuh, dan (7) alam insan, hakikat manusia. Kesemuanya bermuara pada yang satu, yaitu Ahadiyyah, Allah Swt. Dalam menjelaskan ketujuh martabat ini Syeikh Haji Abdul Muhyi pertama-tama menggarisbawahi perbedaan antara Tuhan dan hamba, agar -sesuai dengan ajaran Syeikh Abdur Rauf Singkel-orang tidak terjebak pada identiknya alam dengan Tuhan. Ia mengatakan bahwa wujud Tuhan itu qadim (azali dan abadi), sementara keadaan hamba adalah muhdas (baru). Dari tujuh martabat itu, yang qadim itu meliputi martabat Ahadiyyah, Wahdah, dan Wahidiyyah, semuanya merupakan martabat-martabat “keesaan” Allah Swt. yang tersembunyi dari pengetahuan manusia. Inilah yang disebut sebagai wujudullah. Empat martabat lainnya termasuk dalam apa yang disebut muhdas, yaitu martabat-martabat yang serba mungkin, yang baru terwujud setelah Allah Swt. memfirmankan “kun” (jadilah).

Selanjutnya melalui martabat tujuh itu Syeikh Haji Abdul Muhyi menjelaskan konsep insan kamil (manusia sempurna). Konsep ini merupakan tujuan pencapaian aktivitas sufi yang hanya bisa diraih dengan penyempurnaan martabat manusia agar sedekat-dekatnya “mirip” dengan Allah Swt.

Melalui usaha Syeikh Haji Muhyiddin, ajaran martabat tujuh yang dikembangkan Syeikh Abdul Muhyi tersebar luas di Jawa pada abad ke-18.*** 

(Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid I, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 5-8.)

Tidak ada komentar:

"S A L A M S E J A H T E R A"